Rabu, 18 Maret 2015

Sebongkah kekosongan

langit biru dipagi itu seolah tak berarti, suara teriak caci-maki dua pengemis itu terdengar jelas dari beranda rumahku, teras yang selalu di lewati orang-orang yang berlalu lalang, ya begitulah kira-kira ku anggap gang sempit di depan rumahku, setidaknya di setiap pagi saat langit sudah mulai jingga dan gang itu selalu terasa sepi, baru dapat ku nikmati terasku itu. di hadapannya terdapat tembok yang tingginya sekitar 3 meter dengan kawat duri diatasnya, sehingga aku harus selalu bangun lebih pagi untuk menikmati surya merekah, mengitari tembok-tembok yang mengelilingi sepanjang desa, berputar di sekitaran hutan dan menaiki lembah berpadang rumput yang berwarna hijau dan kuning. tak banyak yang bisa dilakukan di desa ini, kebanyakan pemudanya pergi merantau dan yang tersisa bekerja sebagai buruh pabrik, sementara umurku belum seberapa dan sekolah bukanlah hal yang menyenangkan, maka biarlah aku bermain-main saja, dan ini merupakan kegiatanku yang paling kusuka. bayangkan, sebuah gelap dapat teratasi melalui sebuah titik kecil yang menjadikan langit kekuning-kuningan pada awalnya, lalu titik itu membesar dan kemudian terpecah, dan aku tak dapat melihatnya lagi. yang kunanti setelah itu tidak lain adalah menunggu gelap lagi. tak sedikitpun dari keduanya sempat mengingkar janji.

kedua suara itu terus mencaci, terkadang meledak hebat, terkadang sepi seolah cacian itu telah berhenti, namun setelah beberapa saat baru terdengar lagi. sudah dua belas tahun kedua pengemis itu menetap di desa ini, tepat kedatangannya pada hari kelahiranku, namun sejak kecil orang tuaku bahkan penduduk sekitar selalu melarangku mendekati mereka, sehingga aku tak pernah mengenal mereka, melihatnya pun tidak. konon katanya mereka adalah korban penjajahan dari desa di dekat daerahku, dan keduanya mengidap kusta yang telah memakan beberapa nyawa penduduk desa, itulah alasanku untuk takut mendekatinya. beberapa kepala-kepala desa membuatkan sebuah suaka yang agak terpisah di dalam bagian desa yang hampir seluruhnya hutan belantara. karena desa kami terkenal dengan rasa kemanusiaannya, maka kedua pengemis itu tidak dibunuh atau dibakar seperti yang sudah sering terjadi di beberapa desa lain.

tanpa memperdulikan suara-suara itu kulangkahkan kakiku sembari menikmati pohon-pohon yang melintang tinggi sepanjang jalan setapak yang mengarah ke pada lembah, aku mau menikmati surya pagi untuk kesekian kalinya pagi ini, pikirku. sembari bersiul-siul kucoba berbicara kepada burung-burung yang terkadang hinggap di ranting pohon yang tidak terlalu melintang. dua belas tahun dan tak sedikit pun bisa kumaknai nyanyiannya, aku terus berjalan sampai tiba-tiba kulihat ke dua pengemis itu dijalan setapak hanya berjarak beberapa meter di depanku, dengan sendirinya kusembunyikan tubuhku diantara semah belukar sambil memperhatikan mereka, kini keduanya tak lagi berkata-kata, namun raut muka yang menjijikan karena kusta itu terlihat beringas pada keduanya, mereka tampak memperebutkan sesuatu yang terlalu kecil untuk kudefinisikan dalam jarak sejauh ini, keduanya menjambak, menyakar, dan saling membanting, membuatku heran takjub pada pemandangan itu.

apakah yang diperebutkan mereka?tanyaku dalam hati, selama ini mereka selalu mendapat makanan dan segalanya yang di perlukan dari penduduk desa, namun apa yang mereka perebutkan kali ini?sesuatu yang berhargakah?apa mungkin jika aku mengetahuinya pun aku akan memperebutkannya juga?semua pertanyaan melintas sembari menunggu dan memperhatikan keduanya beradu mulut dan tenaga, aku hanya duduk dan bertanya-tanya. dengan hidupnya yang sudah tak seberapa, bahkan nafas yang keluar dari hidungnya pun sudah tak seberapa, hanya menunggu waktu untuk mati dengan segala penyakit yang merambati badannya, kulihat mata yang menyala-nyala, sebuah semangat yang telah hilang pada seharusnya, tertuju pada sebuah misteri yang kini merambati kepalaku ditangan mereka. terkadang mereka berhenti keletihan, dengan sesuatu yang tergeletak di tanah basah, lalu bangkit lagi begitu salah seorang diantaranya bereaksi.

“berikan ini kepadaku, ini adalah hak milikku”, yang seorang berkata. “anjing! sejak kapan ini adalah milikmu..?!, aku telah menemukannya dan ini adalah hakku!”, yang seorang lagi menentang. begitulah keduanya bertengkar beradu mulut dengan sebuah benda di tangan mereka. yang menjadi pertanyaanku kali ini mengapa mereka tidak membaginya?sama rata dan melakukan semua ocehan mereka, tentang berapa berharganya sesuatu itu bagi anak dan keturunannya, atau yang seorang lagi untuk hidupnya sendiri, mungkin untuk makanan atau bahkan kehidupan, pikirku, apa pun itu. bahkan sesekali dalam pertengkaran, mereka menyebutkan bagaimana sesuatu itu dapat menyembuhkan penyakitnya.

perkelahian pun tak tertahankan dan keduanya mati pada sebuah jurang yang tertutupi rimbunan semak belukar, aku pun tak berdaya karena hanya melihatnya dengan jarak yang cukup jauh, yang kukira cukup aman untuk tak terlihat oleh mereka, namun setidaknya seandainya aku sedikit lebih berani, aku bisa berteriak dan sekecilnya kemungkinan menghentikan kematian mereka, setidaknya sebuah jalan tengah, entah membaginya atau apa pun itu, namun terlambat dan aku menyesal akan ketakutanku, setidaknya aku bisa berlari seandainya mereka mendekat, dan aku tau persis setiap sudut desa ini, jadi mereka takkan bisa menangkapku. namun masih saja aku berpikir tentang seandainya, meski semua langkah telah terlambat bahkan untuk sekedar dipikirkan saja.

aku berjalan mendekati jurang hanya untuk melihat selanjutnya, sungguh kehidupan yang sia-sia hidup manusia itu. dari tepi jurang mayat mereka telah lenyap. jelas saja, jurangnya pun bebatuan yang ditutupi semak-semak liar, dalamnya pun tak terkira. sambil membalikan arah dan kembali menuju ke arah lembah, otakku digerayangi pikiran dan betapa kesia-siaan pula hidupku ini. diantara timbunan rumput-rumput liar, ku lihat sebuah cahaya kekuningan yang berkilau memberi aksen pada daratan disekitarnya. ku dekati dan kulihat sebongkah emas yang kerap berubah warna, awalnya emas kekuning-kuningan, menjadi unggu, oranye, dan terkadang tak berwarna sama sekali, terkadang berbagai macam warna membaur dan berkumpul menjadi satu sebelum akhirnya berubah transparan sekali lagi dan hilang begitu saja. bongkah kekosongan! yang mereka perebutkan adalah bongkah kekosongan! kuusap mataku untuk memastikan segalanya nyata, baru sekali ini kulihat bongkah kekosongan yang sudah menjadi legenda itu, dan sekarang lenyap tanpa pemiliknya. konon bongkah itu dapat berubah wujud menjadi sesuatu apa pun menurut pemiliknya, uang, kesembuhan, dan bahkan kemudaan, apa pun yang menjadi kehendak pemiliknya, namun hanya apa pun yang berhubungan dengan manusia dan hasratnya, bukan surga bukan pula neraka, dan bagaimana pun juga semuanya hanyalah kekosongan belaka.

bumi telah berputar seperempat pada permukaannya dan terik matahari kini telah merajalela, walau udara sejuk dengan pohon-pohon rindang di atas kepalaku, aku tetap menyesali kehilangan sang surya di pagi itu, namun bukankah terkadang memang pengalaman selalu datang berbeda meski kau selalu menapaki sebuah jalan yang sama? dan hal itu terjadi pada pagi yang tak pernah terduga.

untuk hari-hari berikutnya tetap kunikmati surya pagi merekah, gelap, terang, dan semua yang terjadi diantaranya, hanya mungkin kini cara menanggapinya yang telah berbeda. tak satu pun suara menggangguku. kini kudengar burung-burung itu bernyanyi tentang alam dan kehidupan, angin-angin yang berhembus dan aroma-aroma padang rumput, entah bagaimana semua itu ada, angin yang menghembuskannya, aroma yang menyelimuti sepanjang padang itu, rumput-rumput yang memiliki aromanya, atau hanya diriku yang mengendusnya..? ah, dunia yang fana, pikirku sambil berjalan kembali kearah hutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar