langit biru dipagi itu seolah tak berarti, suara teriak caci-maki dua
pengemis itu terdengar jelas dari beranda rumahku, teras yang selalu di
lewati orang-orang yang berlalu lalang, ya begitulah kira-kira ku
anggap gang sempit di depan rumahku, setidaknya di setiap pagi saat
langit sudah mulai jingga dan gang itu selalu terasa sepi, baru dapat
ku nikmati terasku itu. di hadapannya terdapat tembok yang tingginya
sekitar 3 meter dengan kawat duri diatasnya, sehingga aku harus selalu
bangun lebih pagi untuk menikmati surya merekah, mengitari tembok-tembok
yang mengelilingi sepanjang desa, berputar di sekitaran hutan dan
menaiki lembah berpadang rumput yang berwarna hijau dan kuning. tak
banyak yang bisa dilakukan di desa ini, kebanyakan pemudanya pergi
merantau dan yang tersisa bekerja sebagai buruh pabrik, sementara umurku
belum seberapa dan sekolah bukanlah hal yang menyenangkan, maka
biarlah aku bermain-main saja, dan ini merupakan kegiatanku yang paling
kusuka. bayangkan, sebuah gelap dapat teratasi melalui sebuah titik
kecil yang menjadikan langit kekuning-kuningan pada awalnya, lalu titik
itu membesar dan kemudian terpecah, dan aku tak dapat melihatnya lagi.
yang kunanti setelah itu tidak lain adalah menunggu gelap lagi. tak
sedikitpun dari keduanya sempat mengingkar janji.
kedua suara
itu terus mencaci, terkadang meledak hebat, terkadang sepi seolah
cacian itu telah berhenti, namun setelah beberapa saat baru terdengar
lagi. sudah dua belas tahun kedua pengemis itu menetap di desa ini,
tepat kedatangannya pada hari kelahiranku, namun sejak kecil orang
tuaku bahkan penduduk sekitar selalu melarangku mendekati mereka,
sehingga aku tak pernah mengenal mereka, melihatnya pun tidak. konon
katanya mereka adalah korban penjajahan dari desa di dekat daerahku, dan
keduanya mengidap kusta yang telah memakan beberapa nyawa penduduk
desa, itulah alasanku untuk takut mendekatinya. beberapa kepala-kepala
desa membuatkan sebuah suaka yang agak terpisah di dalam bagian desa
yang hampir seluruhnya hutan belantara. karena desa kami terkenal dengan
rasa kemanusiaannya, maka kedua pengemis itu tidak dibunuh atau
dibakar seperti yang sudah sering terjadi di beberapa desa lain.
tanpa memperdulikan suara-suara itu kulangkahkan kakiku sembari
menikmati pohon-pohon yang melintang tinggi sepanjang jalan setapak yang
mengarah ke pada lembah, aku mau menikmati surya pagi untuk kesekian
kalinya pagi ini, pikirku. sembari bersiul-siul kucoba berbicara kepada
burung-burung yang terkadang hinggap di ranting pohon yang tidak
terlalu melintang. dua belas tahun dan tak sedikit pun bisa kumaknai
nyanyiannya, aku terus berjalan sampai tiba-tiba kulihat ke dua pengemis
itu dijalan setapak hanya berjarak beberapa meter di depanku, dengan
sendirinya kusembunyikan tubuhku diantara semah belukar sambil
memperhatikan mereka, kini keduanya tak lagi berkata-kata, namun raut
muka yang menjijikan karena kusta itu terlihat beringas pada keduanya,
mereka tampak memperebutkan sesuatu yang terlalu kecil untuk
kudefinisikan dalam jarak sejauh ini, keduanya menjambak, menyakar, dan
saling membanting, membuatku heran takjub pada pemandangan itu.
apakah yang diperebutkan mereka?tanyaku dalam hati, selama ini mereka
selalu mendapat makanan dan segalanya yang di perlukan dari penduduk
desa, namun apa yang mereka perebutkan kali ini?sesuatu yang
berhargakah?apa mungkin jika aku mengetahuinya pun aku akan
memperebutkannya juga?semua pertanyaan melintas sembari menunggu dan
memperhatikan keduanya beradu mulut dan tenaga, aku hanya duduk dan
bertanya-tanya. dengan hidupnya yang sudah tak seberapa, bahkan nafas
yang keluar dari hidungnya pun sudah tak seberapa, hanya menunggu waktu
untuk mati dengan segala penyakit yang merambati badannya, kulihat
mata yang menyala-nyala, sebuah semangat yang telah hilang pada
seharusnya, tertuju pada sebuah misteri yang kini merambati kepalaku
ditangan mereka. terkadang mereka berhenti keletihan, dengan sesuatu
yang tergeletak di tanah basah, lalu bangkit lagi begitu salah seorang
diantaranya bereaksi.
“berikan ini kepadaku, ini adalah hak
milikku”, yang seorang berkata. “anjing! sejak kapan ini adalah
milikmu..?!, aku telah menemukannya dan ini adalah hakku!”, yang
seorang lagi menentang. begitulah keduanya bertengkar beradu mulut
dengan sebuah benda di tangan mereka. yang menjadi pertanyaanku kali
ini mengapa mereka tidak membaginya?sama rata dan melakukan semua
ocehan mereka, tentang berapa berharganya sesuatu itu bagi anak dan
keturunannya, atau yang seorang lagi untuk hidupnya sendiri, mungkin
untuk makanan atau bahkan kehidupan, pikirku, apa pun itu. bahkan
sesekali dalam pertengkaran, mereka menyebutkan bagaimana sesuatu itu
dapat menyembuhkan penyakitnya.
perkelahian pun tak tertahankan
dan keduanya mati pada sebuah jurang yang tertutupi rimbunan semak
belukar, aku pun tak berdaya karena hanya melihatnya dengan jarak yang
cukup jauh, yang kukira cukup aman untuk tak terlihat oleh mereka,
namun setidaknya seandainya aku sedikit lebih berani, aku bisa
berteriak dan sekecilnya kemungkinan menghentikan kematian mereka,
setidaknya sebuah jalan tengah, entah membaginya atau apa pun itu,
namun terlambat dan aku menyesal akan ketakutanku, setidaknya aku bisa
berlari seandainya mereka mendekat, dan aku tau persis setiap sudut
desa ini, jadi mereka takkan bisa menangkapku. namun masih saja aku
berpikir tentang seandainya, meski semua langkah telah terlambat bahkan
untuk sekedar dipikirkan saja.
aku berjalan mendekati jurang
hanya untuk melihat selanjutnya, sungguh kehidupan yang sia-sia hidup
manusia itu. dari tepi jurang mayat mereka telah lenyap. jelas saja,
jurangnya pun bebatuan yang ditutupi semak-semak liar, dalamnya pun tak
terkira. sambil membalikan arah dan kembali menuju ke arah lembah,
otakku digerayangi pikiran dan betapa kesia-siaan pula hidupku ini.
diantara timbunan rumput-rumput liar, ku lihat sebuah cahaya kekuningan
yang berkilau memberi aksen pada daratan disekitarnya. ku dekati dan
kulihat sebongkah emas yang kerap berubah warna, awalnya emas
kekuning-kuningan, menjadi unggu, oranye, dan terkadang tak berwarna
sama sekali, terkadang berbagai macam warna membaur dan berkumpul
menjadi satu sebelum akhirnya berubah transparan sekali lagi dan hilang
begitu saja. bongkah kekosongan! yang mereka perebutkan adalah bongkah
kekosongan! kuusap mataku untuk memastikan segalanya nyata, baru
sekali ini kulihat bongkah kekosongan yang sudah menjadi legenda itu,
dan sekarang lenyap tanpa pemiliknya. konon bongkah itu dapat berubah
wujud menjadi sesuatu apa pun menurut pemiliknya, uang, kesembuhan, dan
bahkan kemudaan, apa pun yang menjadi kehendak pemiliknya, namun hanya
apa pun yang berhubungan dengan manusia dan hasratnya, bukan surga
bukan pula neraka, dan bagaimana pun juga semuanya hanyalah kekosongan
belaka.
bumi telah berputar seperempat pada permukaannya dan
terik matahari kini telah merajalela, walau udara sejuk dengan
pohon-pohon rindang di atas kepalaku, aku tetap menyesali kehilangan
sang surya di pagi itu, namun bukankah terkadang memang pengalaman
selalu datang berbeda meski kau selalu menapaki sebuah jalan yang sama?
dan hal itu terjadi pada pagi yang tak pernah terduga.
untuk
hari-hari berikutnya tetap kunikmati surya pagi merekah, gelap, terang,
dan semua yang terjadi diantaranya, hanya mungkin kini cara
menanggapinya yang telah berbeda. tak satu pun suara menggangguku. kini
kudengar burung-burung itu bernyanyi tentang alam dan kehidupan,
angin-angin yang berhembus dan aroma-aroma padang rumput, entah
bagaimana semua itu ada, angin yang menghembuskannya, aroma yang
menyelimuti sepanjang padang itu, rumput-rumput yang memiliki aromanya,
atau hanya diriku yang mengendusnya..? ah, dunia yang fana, pikirku
sambil berjalan kembali kearah hutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar