Sudah dari dulu niat sungguh-sungguh itu terbesit di benak Nek Yam -- ingin sekali mengunjungi Jakarta .
Tak tahu Nek Yam sebabnya apa. Entah jin apa pula yang telah membisikkan
hasrat itu. Yang jelas, keinginan itu kian menggebu saja tiap malam dan
siang bertukar.
Jakarta menurut bayangan Nek Yam adalah kota yang sangat indah. Seperti
yang kerap disaksikannya pada teve si Syam, tetangga dekat rumahnya --
malam hari penuh terang dengan lampu-lampu cantik terpajang di sepanjang
jalan. Pun gedung-gedung yang tingginya seratus kali, malah lebih, dari
gubuk reotnya.
Berharap sekali Nek Yam dapat merengkuh indah itu. Ingin kakinya
terjejak di tanah Jakarta itu, meski cuma sekali selama masa hayatnya.
Sayang tapi, niat itu tak pernah terwujud. Apalagi kini kondisinya
sebatang kara setelah ditinggal mati suaminya tujuh tahun lalu. Angan
itu laksana pungguk rindukan bulan. Semasa ada suaminya pun, angan itu
tak sanggup terjelma, apalagi tanpa lelaki itu kini.
Namun, lintas hidup seorang manusia tak dapat diterka oleh siapa pun.
Nek Yam tak pernah menyangka jikalau hasratnya itu bisa terkabul juga
akhirnya. Manakala usianya kian uzur pula.
Kala itu, tanah kelahiran Nek Yam, Tanoh Seuramoe Mekkah, ditimpa bencana teramat dahsyat. Banyak orang menyebutnya
'tsunami'.
Tsunami adalah air bah hitam yang berarus kuat dan mempunyai ombak
yang sungguh tinggi. Cerita orang yang sempat melihat langsung, tinggi
ombak itu nyaris sepadan dengan tiga kali tiang listrik. Mengerikan!
Tsunami itu telah meratakan sejajar tanah seluruh perumahan di tanah
Aceh. Gubuk reot Nek Yam, yang berlokasi di Alue Naga, tak luput dari
terjangan air bah hitam itu. Nek Yan beruntung meski, saat naas itu
datang, kebetulan sosok itu tengah berada di Tanjung Selamat -- salah
satu kawasan yang tak terjamah tsunami. Jika tidak, mungkin tubuh Nek
Yam termasuk salah satu dari ratusan ribu manusia yang telah dipanggil
oleh-Nya dalam tempo sekitar tujuh menit.
Empat hari baru usia bencana itu, manakala Nek Yam menjejakkan
sepasang kakinya kembali ke Alue Naga, ingin melihat kondisi gubuk
mungilnya. Namun hanya hampa yang terbentang luas di sana. Tanpa satu
sisi rumah pun.
Seluruhnya telah dijarah paksa oleh tsunami.
Terpaku Nek Yam menatap pemandangan langka itu. Berdiri di manakah
dia, tak tahu Nek Yam, sebab halaman di Alue Naga tak lagi berbatas
pagar ataupun lainnya. Pun Nek Yam tak tahu juga di mana bekas rumahnya
dulu. Tampak tersatukan semuanya.
Lama keterpakuan itu menaungi tiap inci dari tubuh senja Nek Yam.
Pikiran itu terbayang panjang. Melamun, tak sadar hadir sendiri. Desah
nafas berat berantrian sesak untuk mengudara.
Baru tersentak Nek Yam tatkala mampir tepukan halus di pundaknya.
Menoleh lekas Nek Yam, ternyata seorang gadis muda cantik yang telah
menepuk pundaknya barusan.
Terjadi percakapan serius di antara dua wanita yang berbeda generasi
itu. Untung Nek Yam mahfum dengan bicara perempuan yang menggunakan
bahasa Indonesia itu, meski wanita senja itu tak terlalu fasih bercakap
dalam bahasa itu.
Dari pembicaraan itu tahulah Nek Yam, kalau perempuan muda itu
bernama Leni Marlina. Non Leni, begitu Nek Yam menyapa gadis itu, atas
suruhan gadis itu sendiri. Tahu juga Nek Yam, bila Non Leni itu datang
dari Jakarta.
Manakala mendengar Jakarta, angan Nek Yam kembali terbit setelah
terselubung banyak hal sebelumnya. Ingin sekali Nek Yam bersimpuh di
hadapan gadis yang sepertinya belum menikah itu, memohon agar sosok itu
membawanya ke Jakarta saat dia pulang ke sana nanti.
Malu tapi Nek Yam untuk melakukan itu, sebab gadis itu bukanlah
apa-apanya. Kenal pun, dalam tempo singkat. Niat itu akhirnya hanya
terbiarkan terkubur jauh di dalam relung hati Nek Yam.
Saat perjumpaan untuk kali kedua dengan gadis itu, juga di Alue
Naga, nurani Nek Yam masih serupa -- sungguh ingin mengeluarkan unek
terpendamnya. Tapi kembali ganjal itu tak sanggup teterbangkan juga.
Hari ke sembilan setelah tsunami, pertemuan itu berulang. Lama
keduanya berbicara lebar. Gadis itu bertanya tentang keluarga Nek Yam.
Nek Yam agak tersendat menggulir cerita. Dia mengatakan bahwa dirinya
sudah lama hidup sebatang kara. Tanpa suami dan juga anak.
Perempuan itu tampak terkejut mendengar penuturan Nek Yam. Juga gadis
itu menanyakan, akan kemanakah Nem Yam setelah rumahnya tak lagi ada.
"Mungkin saya akan tinggal di pengungsian."
Untuk kedua kalinya, gadis muda itu tampak terkejut mendengar
kata-kata yang keluar dari mulut Nek Yam. Terbisu sesaat. Entah hal apa
yang tengah berkecamuk dalam pikiran gadis itu.
"Ibu mau ikut saya ke Jakarta?" tak dinyana rangkai kata itu terlontar dari mulut gadis di depan Nek Yam.
Andaikata masih kuat, maunya Nek Yam berjingkrak-jingkrak saat kupingnya menangkap bunyi barusan.
"Apa, Non?" takutnya Nek Yam salah dengar.
"Apa ibu mau ikut saya ke Jakarta?" tak salah rupanya indera pendengaran Nek Yam.
Tak menunggu ulang untuk ketiga kalinya, sebuah anggukan cepat dan
beriring senyum paling bahagia, terpasang di kepala Nek Yam.
Nek Yam diajak ke Jakarta!
Berangkatlah Nek Yam dan gadis muda itu ke Jakarta dengan
menggunakan pesawat terbang kelas paling ekslusif. Luar biasa senangnya
Nek Yam bisa berada di dalam tranportasi udara itu. Selama di
perjalanan, tak henti perempuan senja itu berceloteh kegirangan.
Tiba di Jakarta, girang Nek Yam total sudah -- tak menduga sama sekali
bila tanah kota impiannya berada di bawah sepasang telapak kakinya
kini. Seperti sedang bermimpi saja rasanya. Teriak kagum keras terdengar
dari mulut Nek Yam manakala gadis muda itu menunjuk ke arah bangunan
tinggi besar sebagai rumahnya
Selanjutnya: Sebab Nek Yam Sudah ke Jakarta 2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar