Setiap melihat kepompong di daun palem di teras rumahku aku selalu ingat
kata-kata kekasihku: kita, kau dan aku, adalah kepompong, yang menunggu
waktu untuk lepas dari bungkusnya dan terbang menjadi kupu-kupu,
belalang, atau mungkin burung jiwa.
"Aku lebih suka kupu-kupu. Dengan sayap-sayap bercahaya kita akan terbang ke langit," ujar kekasihku, penuh imajinasi..
Tetapi, aku merasa terlalu lama jiwaku tidur di dalam kepompong itu,
entah berapa abad. Namun, kekasihku yakin, makin lama kita bersemayam di
dalamnya, akan makin matanglah jiwa kita, dan makin perkasa pula raga
kita. "Kalau kau jadi kupu-kupu, kau akan jadi kupu-kupu yang kuat.
Kalau kau jadi belalang, akan jadi belalang yang perkasa," katanya.
Tapi, bagaimana kalau kita tidak menjadi apa-apa, atau bahkan mati di
dalam kepompong itu, karena tidak punya kekuatan lagi untuk melepaskan
diri dari kungkungan derita. "Ah tidak. Kita sedang berproses," katanya.
"Kita harus jalani proses itu untuk menjadi."
Untuk menjadi? Menjadi apa? Aku tidak tahu jawabannya, sebab aku tidak
punya cita-cita. Aku ingin hidup mengalir saja bagai air, berembus bagai
angin, menyebar bagai pasir, meresap bagai garam, menyusup bagai
rumput-rumput jiwa.
Tetapi, seperti kata kekasihku, aku jalani juga hidupku sebagai proses
proses untuk menjadi. Aku jalani hari-hari manis, juga hari-hari pahit,
bersama orang-orang yang bersentuhan denganku, bersama jiwa-jiwa yang
bersedia berbagi. Kuliah, pacaran, bekerja, membangun karier,
bertahun-tahun, berabad-abad, sampai serasa lumutan.
Tapi, aku sungguh tidak tahan menghadapi tahapan membujang terlalu lama
takut menjadi bujang lapuk. Maka, aku pun menikah begitu menemukan gadis
yang aku sukai dan bersedia berbagi meskipun lebih banyak berbagi duka
sebelum kuntuntaskan cintaku padanya. Sementara, kekasihku begitu tahan
menjalani tahapan itu, membujang begitu lama, setidaknya sampai kami
bertemu lagi di Jakarta.
"Aku ingin kukuh dalam cinta, cinta pertama," katanya. Aku terkejut
sekaligus terpana. "Bukankah kita masih dalam kepompong cinta yang sama?
Sayap-sayap kita sedang tumbuh untuk bisa terbang sebagai kupu-kupu,
bersama," tambahnya. Imajinatif sekali. Melebihi imajinasi seorang
pujangga.
"Tapi aku sudah menikah dan punya anak. Aku bukan lagi yang dulu,"
kataku. "Masuklah kembali engkau ke dalam kepompongku untuk bercinta
seperti dulu," katanya.
"Tapi, bagaimana dengan kepompongku?"
"Buang saja. Tidak ada gunanya. Ia telah pecah oleh perkawinanmu yang tanpa cinta itu."
"Apa? Tanpa cinta? Ah... kau keliru. Aku mencintai istriku."
"Bagaimana engkau bisa berkata begitu jika cintamu tertinggal di sini,
di dalam kepompongku. Tiap saat aku dapat merasakan denyutnya."
Aku ingin membantah kata-katanya, bahwa aku benar-benar mencintai
istriku, meskipun pada saat yang sama juga mencintai kekasihku. Bukankah
lelaki biasa membagi cinta, sebab kodrat lelaki memang poligamis?
Karena itu, meskipun aku telah memberikan cinta pada istriku, masih bisa
juga aku mencintainya. "Aku masih mencintaimu. Aku masih berhasrat
menyatukan jiwa dalam kepompong cintamu," kataku akhirnya.
Sejujurnya, aku memang tidak dapat membohongi hati kecilku bahwa aku
menikah bukan semata-mata karena cinta. Tapi, lebih karena tanggung
jawab dan kewajiban. Aku memang mencintai istriku, tapi hanya dengan
setengah hatiku. Sebab, seperti kata kekasihku, separuh cintaku masih
tertinggal dan berdenyut di dalam kepompongnya.
Dan, begitulah. Hari-hari kulalui dalam percintaan ganda. Di rumah aku
bercinta dengan istriku, berkasih sayang dengan anak-anakku, dan
membangun kehidupan sakinah dengan mereka. Pada hari-hari tertentu aku
mengimami shalat mereka, dan menemani mereka membaca Alquran dalam kasih
sayang Yang Maha Kuasa. Tetapi, di luar rumah aku selalu rindu untuk
memasuki kepompong cinta kekasihku, memenuhi yang belum terpenuhi,
mencintai yang belum tercintai.
Kadang-kadang, bosan bermain kata-kata dalam imajinasi-imajinasi
indah itu ini yang selalu aku lakukan sambil menatap wajahnya yang ayu
dan senyumnya yang bagai irisan salju kami menciptakan kepompong dari
selimut tebal di suatu tempat yang sejuk dan sepi.
"Saatnya kita masuk ke dalam kepompong yang sebenarnya," katanya tiap kali kami merentangkan selimut tebal seperti biasa.
Dan, kami pun berada di dalam selimut yang menutup sejak ujung kaki
sampai ujung rambut kami. Seperti dulu, ketika kami masih sama-sama di
Yogya, aku kembali merasakan hangat tubuhnya, degup jantungnya, lembut
nafasnya, dan harum rambutnya.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanyanya.
"Kita tidur seperti bayi kupu-kupu sampai sayap-sayap kita tumbuh dengan perkasa untuk terbang ke langit bersama," kataku.
"Apakah kau masih tidak ingin menikmati keperawananku."
"Siapa tidak ingin menikmati keperawanan gadis secantik kau? Tapi,
tidak. Aku tidak ingin merampas hak suamimu. Siapapun dia, kelak. Aku
lebih suka menjaga kemurnian cinta kita, tanpa seks!"
"Kau memang lelaki yang luar biasa."
"Luar biasa bodohnya, maksudmu?"
"Ha ha ha…!"
Kekasihku tertawa di dalam selimut, cukup keras, hingga kepompong cinta
kami serasa bergetar mau pecah. Tentu, menertawai kebodohanku. Tetapi,
anehnya, sepuluh tahun lebih, dia tetap sabar mempertahankan cintanya
pada lelaki bodoh seperti aku. Bukankah itu berarti dia, kekasihku, juga
bodoh sepertiku? Ya, mau-maunya dia terus mencintai lelaki yang tidak
mungkin lagi mengawininya, karena sudah beristri dan beranak. Apakah
cinta memang misteri yang sulit dipahami, yang sulit ditolak
kehadirannya dan sulit diusir pergi? Atau, kami memang orang-orang aneh
yang ingin terus bercinta sebatas keindahan imajinasi?
Sebagai wanita karier yang cukup jelita bukannya tidak pernah ada lelaki
lain yang menginginkan kekasihku. Banyak. Banyak sekali. Beberapa kali
aku pun perah memergoki dia berjalan dengan seorang lelaki di suatu mal
atau lobi bioskop. Tetapi, lagi-lagi, tiap kali kupergoki begitu, tidak
lama kemudian dia langsung meneleponku bahwa lelaki itu hanya kawan
biasa.
Suatu hari pernah pula aku melihat kekasihku dikejar-kejar oleh seorang
manajer tempatnya bekerja. Aku dengar lelaki itu sangat tertarik
padanya. Kekasihku didekati dengan sedannya yang mulus, dibukakan pintu
dan dipersilakan masuk. Tetapi, dengan halus kekasihku menolaknya. Dan,
ketika kutanya mengapa, kekasihku hanya menjawab, "Aku masih suka tidur
sebagai bayi kupu-kupu di dalam kepompong cinta kita."
Kadang-kadang aku merasa khawatir juga, jangan-jangan kekasihku
benar-benar menunggu lamaranku untuk kunikahi. Sebab, suatu hari ia
pernah mengatakan, "aku sering merasa diciptakan hanya untukmu." Dan,
bukannya aku tidak berani melamar dan menikahinya, atau bermaksud
sengaja mempermainkannya. Sama sekali tidak! Tetapi, lebih karena aku
sudah memiliki anak dan istri, dan sejujurnya belum punya nyali untuk
berpoligami. Kadang-kadang, aku ingin nekat saja menikahinya sebagai
istri kedua. Tetapi, tiap aku menatap wajah istri dan anak-anakku yang
polos-polos yang tidak berdosa, yang saat tidur seperti menyerahkan
seluruh nasibnya padaku, aku menjadi tidak sampai hati melakukannya. Aku
tidak tega membayangkan keluargaku, yang aku bina sepuluh tahun lebih,
tiba-tiba tercerai berai karena pernikahan keduaku.
Tetapi, bagaimana kalau kekasihku memang benar-benar menungguku, dan
terus menungguku bertahun-tahun lagi, berpuluh-puluh tahun lagi,
berabad-abad lagi, sampai hilang seluruh kecantikannya secara sia-sia?
Bukankah itu artinya aku menyia-nyiakannya? Bukankah itu artinya aku
juga berdosa?
Selanjutnya: Percintaan Kepompong 2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar