Matahari kelabu. Udara bisu.Tak ada suara lengkingan renyai yang
menyeruak seperti biasanya setiap kali ia jejakkan kaki di daratan yang
berpasir. Tidak pula suara perempuan yang lantang, yang dengan lari-lari
kecilnya, menghalau anak yang berlarian di depannya itu dari air laut
yang merambati kaki mereka. semuanya telah menghilang.
Tapi masih ada yang belum ditemukan. Karena itu, Abdullah,
laki-laki yang berjalan terseok itu, terus mencari-cari. Tangannya telah
lelah, hampir tak sisakan tenaga. Tapi gelombang di dadanya lebih besar
daripada kehendak tubuhnya. Ia paksakan kakinya melangkah meski nyeri
mulai menusuk pada memar kakinya.
Abdullah hentikan langkah. Layangkan matanya pada langit. Ia tidak
tahu lagi apakah ini siang atau malam. Waktu telah berhenti sejak
peristiwa itu. Tapi ia butuh waktu untuk mengais sisa tenaganya. Lalu
apa yang masih menggerakkannya? Tubuh? Tidak. Tubuh itu sudah tidak
berfungsi lagi. Namun, kalau pun kaki itu harus dicabut dari tungkainya,
Abdullah akan terus berjalan. Semuanya memang telah sirna. Tapi masih
ada yang tertinggal. Karena itu, ia masih mencari. Sepanjang beberapa
depa, Abdullah kembali menghentikan langkah. Kakinya dilanda nyeri.
Seribu semut merah seperti menggigiti urat kakinya. Abdullah
Memijit-mijitnya dengan perlahan. Hanya istirahat sejenak. Sebab
sesudahnya, dengan rasa sakit yang masih menyisa, Abdullah berjalan
kembali.
Mungkin rasa sakit itu sudah hilang. Bersama tumpahan air mata
yang membanjir berhari-hari sebelumnya hingga tak menyisa. Meskipun ia
minum seluruh air laut di Pantai Ulee Lheu, itu takkan bisa
menggantinya. Abdullah pun telah menghapus air mata itu dalam catatan di
darahnya. Seperti beku telah membungkus hatinya. Hanya dengan mata ia
berjalan. Mata yang gelap.Berhari-hari yang lalu, Abdullah telah
jelajahi seluruh tempat. Puing-puing yang luruh. Mayat-mayat yang serak.
Ada tetangganya, teman melaut, teman anaknya yang sering menunggui
kapal ikan datang, penjaga surau kampung. Namun ia tak ada di sana.
Karena itu, Abdullah terus mencari.''Sudahlah, Abdullah. Istirahatlah
sejenak. Badanmu sudah letih.''
Ia tidak begitu awas, apakah itu suara istrinya atau tetangganya.
''Nanti saja.
Aku selesaikan dulu pekerjaan ini. Nanti aku kembali.''
Tidak. Ia telah berbohong pada istrinya. Kembali? Aku belum menemukan
yang kucari, maka aku tidak akan kembali. Lagipula kemana aku akan
kembali? Abdullah menggeleng-gelengkan kepalanya. Tak kan ada langkah
surut, suara hati Abdullah kuatkan langkahnya.Istrinya memang memahami
sikapnya. Batu yang keras itu tak akan mudah dilebur dalam satu pukulan
kampak.''Anakmu sudah menanti. Mengapa engkau masih tak tahu juga,
Abdullah. Bukankah engkau tahu mereka sudah menantimu untuk makan
siang.''Sedetik tubuh Abdullah mengeras. Matanya tajam menentang ke
atas. Ada yang dicarinya di sana. Tapi tak ada apa-apa. Langit tak biru.
Merah memantul dari lensa matanya. Hanya angin yang berkesiur. Selebihnya tak ada.
''Nantilah. Nanti saja. Aku belum ingin pulang.''
''Apa yang kau cari, wahai Abdullah? Kau tak turuti anjuran istrimu.
Mengapa engkau masih bengal juga, Abdullah!
''Itu suara ayahnya. Suaranya keras, seperti dirinya. Abdullah tak peduli.
''Kemana engkau akan pergi, anakku?'' perempuan yang matanya
kelabu memanggilnya serupa angin.''Tak usah hiraukan aku, Bu.''Abdullah
terus berjalan. Kakinya yang menyusut dari waktu ke waktu dan makin
kehilangan daya tak mampu kalahkan kehendaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar