Jika lelaki itu pulang ke kota kami, tidak akan dilihatnya lagi kakak
duduk termenung di muka jendela, memandang gunung ataupun kejauhan
tiada batas. Paman Jafar telah membawa kakak ke Pakanbaru bulan lalu dan
ibu melepasnya dengan lega berurai air mata. ”Elok-elok di sana,” pesan
ibu. ”Paman dan bibi akan menjagamu. Kau akan dimasukkan kerja. Engkau
akan mengajar lagi nanti, Nak. Kau senang dapat mengajar lagi, bukan?”
Kakak diam saja. Hanya memandang. Lurus. Kosong, jauh.
Lebih-lebih kalau duduk depan jendela. Angin kadang memburai-burai
rambutnya sampai masai, namun kakak bergeming. Matanya terus menerawang
ke cakrawala. Wajahnya tambah putih, kian lesi. Tidak jarang air matanya
merambat sepanjang pipi. ”Kakak! Kakak!” adik-adik mengimbau, berlari
mendekati, memeluk, serta menarik-narik tangannya. Kakak tak hirau.
Tetapi ibu terus bicara. Ibu bilang kami juga harus sering bicara
dengan kakak, menyeru namanya. ”Tapi kakak diam saja,” kata adik-adik.
”Seperti tak mendengar.”
”Kakak mendengar,” ujar ibu. ”Dia sayang sekali kepada kalian.”
”Mengapa kakak tidak menyahut?” adik terkecil bertanya kepada Kak Lela.
”Kakak sedang malas bicara,” jawab Kak Lela. ”Ajaklah terus berkata-kata.”
”Malas bicara, seperti kalau aku ngambek?”
”Ya. Begitu.”
Sambil lambat-lambat menyisir rambut kakak yang sepinggang ibu
berucap, ”Ai, ai, harum dan bagus sekali rambutmu, Mariani. Ikal. Legam.
Ah, tidak elok kita terus mengenang yang sudah-sudah sampai rambut tak
terurus. Itu, paman dan bibimu tiba, Nak. Salamilah paman dan bibimu.”
Kakak tetap tidak beringsut. Sudah lama kakak serupa patung
hidup. Sejak dia tidak jadi mengajar, disusul perginya lelaki itu
sembari mengembalikan cincin belah-rotan, tanda pertunangan—tak lama
sesudah ayah ditangkap kemudian lenyap entah di mana dan di tangan
siapa.
Orang terlalu banyak saat itu mengurung rumah. Membawa ayah.
Seolah-olah beliau orang penting, padahal hanya masinis kereta api.
Bukan kepala stasiun. Apalagi pengurus ataupun ketua organisasi buruh
DKA. Sedang kami hanya bisa memandang, bertangisan. ”Ayaaah! Ayaaah!”
kakak meraung-raung mengimbau, tetapi ayah tidak terjangkau. Raib dalam
kerumunan manusia yang gemuruh. Paman Jafar yang pulang setelah kejadian
itu juga mencari, namun ayah tetap tidak dapat dicari. Sampai kini.
”Baru pekan lalu kuterima surat Kakak,” kata Paman Jafar seperti
minta maaf. ”Payah hubungan pos sekarang. Lambat. Aku tidak dapat pula
cepat-cepat berangkat, izin dulu ke komandan.”
”Jalan pun buruk, Kak. Berlubang-lubang,” istri paman menambahkan.
”Paham aku itu,” balas ibu mengangguk, lalu menoleh kepada kakak. ”Begitu keadaannya, lihatlah.”
Istri Paman Jafar menghampiri kakak. ”Tapi mau dia makan, Kak?”
”Mau. Disuapi.”
”Disuapi?” Bibi senyum memeluk bahu kakak. ”Disuapi engkau
Mariani, anak rancak? Eh, kenapa keningnya ini?” Senyum bibi tiba-tiba
lenyap.
”Anak-anak nakal itu,” sahut ibu. ”Tapi tidak dalam. Sudah kering sekarang.”
”Terlalu! Tengoklah, Bang!”
Mendengar ibu menjerit melihat darah muncrat di jidat kakak, aku
melesat ke luar rumah. Kuburu anak-anak itu. Ada empat orang, sama besar
denganku. Langsung kutumbuk hidung anak terdekat. Dia melengking,
berdarah-darah. Yang lain siap-siap menyergap. Tapi seorang terjerembab
saat lututnya kusepak. Lantas ku-nyanyah pula mukanya hingga lumat.
”Kalian lukai kakakku! Kalian lukai kakakku!”
Orang-orang berhamburan memisahkan. Ibu-ibu menceracau,
berteriak-teriak. ”Dasar kurang ajar! Anak tidak tahu diuntung! Tukang
berkelahi!”
”Maling mangga! Pembuat onar! Pembawa sial!”
”Mereka yang salah,” kubilang. ”Mereka lempar kakakku dengan batu.”
”Bohong! Dasar pencuri jambu! Anak Gestapu!”
Melihat puting susu perempuan itu terjuntai panjang dan hitam
belum dibenahi sehabis menyusui, kubalas berteriak, ”Kau ibu anjing!”
Plak! Tubuhku terhuyung ke belakang. Hampir terjengkang. Kepalaku nanar.
Kuping mendenging. Seorang lelaki membelalak garang di depanku,
mengibaskan tangan bagai mengusir anjing. ”Pergi!”
Bibi merebahkan kepala kakak di dadanya. Membelai-belai rambut
dekat luka. ”Masih rajin engkau mengaji, Mariani? Nanti mengaji, ya.
Bibi ingin mendengarmu mengaji. Pamanmu juga.” Tidak berjawab. Hanya
bulu mata lentik kakak mengerjap-ngerjap. Kemudian air matanya membersit
lambat-lambat, bagai rembesan pada panci rusak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar