JALAN-JALAN sepanjang kota itu menempati ruang
istimewa dalam hati Sumarno, begitu juga sebaliknya.. Berpuluh tahun dia
jadi saksi perubahan zaman yang terjadi di kotanya. Andai saja tiap
ruas jalan itu punya jemari, tentu nama Sumarno akan mereka catat dengan
tinta emas lalu di bingkai dalam sejarah. Tapi apalah artinya jelata
seperti Sumarno, yang kaumnya cuma bisa pasrah dan tabah ketika
dijadikan tumbal oleh para penguasa.
Sebagai tukang sapu jalan, dia cukup tahu diri untuk membusungkan
dada atau mengabarkan pada setiap orang bahwa ia adalah pahlawan.
Lelaki tua berbadan kecil, bungkuk, ringkih dan mulai sakit-sakitan itu
hanya percaya bahwa sebagian besar kenangan tentang pergulatan hidupnya
telah disumbangsihkan untuk jalan-jalan yang hingga saat ini tak
seluruhnya mampu ia ingat namanya.
Pagi buta. Sumarno sudah siap menjalankan rutinitas sehari-hari.
Dengan senjatanya: sapu lidi, karung goni kumal, dan seragam yang sudah
tidak layak membungkus tubuh; Sumarno bak serdadu yang siap bertempur ke
medan perang. Dia pergi diam-diam tanpa pamit pada istri atau
anak-anaknya. Tak tega ia membangunkan mereka. Biarlah anak beranak itu
tersenyum dalam mimpi indahnya masing-masing, sebab cuma tinggal
mimpilah yang bisa mereka miliki secara gratis.
Berjalan menyusuri kota yang masih pulas, Sumarno ingat kemarin
ada demo lagi. Ribuan orang tumpah ruah di jalan. Entah apalagi yang
mereka tuntut. Bagi Sumarno, usai pesta rakyat itu berarti tumpukan
sampah berserak di mana-mana, dan dia bertanggung jawab membersihkannya.
Sumarno pernah ngedumel. Apa mereka tidak sadar kalau ulah mereka
membuat bebannya tambah berat? Tapi siapa yang peduli pada Sumarno.
Apalah artinya keringat tukang sapu jalan, dibanding niat tulus para
demonstran yang, konon, demi masa depan bangsa. Toh, sampah-sampah itu
tetap harus dilenyapkan. Atasannya pernah memuji peran Sumarno dan
rekan-rekan seperjuangannya. Karena jasa merekalah kota itu bisa
mempertahankan Adipura untuk kelima kalinya.
Meski cuma tamatan SD, Sumarno tahu lingkungan kotor membuat
hidup tak nyaman. Apa jadinya kota yang hiasi sampah? Para pejabat pasti
malu bukan kepalang kalau turis-turis bule yang mampir menganggap
sampah sebagai ciri khas kota itu. Sumarno pun maklum kalau sampah jadi
barang haram di kota itu. Tapi Sumarno manusia, bukan robot atau
binatang. Dalam tubuhnya ada jiwa dan hati nurani. Maka, dalam hati
sering dia memaki, ‘'Apa pejabat-pejabat itu juga ngerti kalau aku ini
orang miskin? Yang aku butuhkan itu uang! Bukan pujian! Bukan
penghargaan! Aku perlu uang, untuk mengganjal perut anak istriku! Heh,
apakah mereka itu manusia juga?''
***
SUMARNO duduk terpekur di trotoar jalan. Dia ingin istirahat
barang sejenak. Sudah ratusan meter dia menyapu jalan. Keringat
menyembul satu-satu dari pori-pori kulitnya. Gelas plastik, koran,
bungkus nasi, poster-poster, bungkus rokok, dan spanduk-spanduk, masih
bertaburan di depan matanya. Di mana para demonstran itu sekarang?
Mereka pasti masih ngorok ditemani mimpi-mimpi muluk tentang negeri
mereka. Omong kosong mereka semua itu! Batin Sumarno memaki di antara
dengus nafasnya. Semenjak sang raja di depak jatuh, kiai jadi presiden,
sampai kaum hawa jadi penguasa, toh nasib tukang sapu tidak bergeser
sesenti pun. Aku tetap orang kere, pikirnya.
Entah dari mana datangnya, kesadaran Sumarno membentur sekelumit
kenangan masa kecil di kampungnya dulu. Almarhum Emak selalu
mengingatkan Sumarno untuk selalu bangun pagi. ‘'Biar rezekimu tidak di
patuk ayam,'' begitu kata almarhum emaknya.
Membandingkan nasehat itu dengan kondisinya saat ini, Sumarno
tersenyum getir. Dari dulu sampai sekarang, dia memang tidak pernah
telat bangun pagi. Dia malah sering bangun lebih cepat dari kokok ayam.
Tapi, kalau soal rezeki, kenapa dia selalu kalah cepat dengan binatang
bertaji itu?
Sejak dulu hingga zaman —yang kata orang-orang— reformasi ini,
Sumarno tetap seorang kacung yang gajinya mentok untuk makan seminggu.
Untuk makan selanjutnya harus diperjuangkan sendiri. Jadi makelar,
pesuruh, atau apa saja asal menghasilkan uang halal. Untung istri dan
empat anaknya bukan tipe manusia yang banyak menuntut. Giyarsih,
istrinya, jadi tukang cuci di perumahan dekat gubuk mereka. Upahnya
lumayan. Keempat anak yang masih kecil-kecil itu pun sudah ditempanya
jadi manusia yang gagah menghadapi kemelaratan. Si Mardi, putra
sulungnya, jadi penjual koran setelah putus sekolah. Sementara Barkah,
anak kedua, tak pernah mengeluh meski jadi penyemir sepatu. Mungkin dua
anaknya yang lain, Sumiati dan Lestari, bakal menyusul jejak kedua kakak
mereka lulus SD nanti. Bisa baca tulis saja sudah cukup, biar kelak
tidak gampang di kelabui orang pintar.
Begitulah, anak beranak itu jadi tulang punggung bersama
keluarganya. Setiap malam, uang hasil memeras keringat itu disatukan dan
esok paginya dibelikan beras serta lauk pauk ala kadarnya. Tak pernah
ada menu daging di meja makan itu. Kalau lebaran tiba atau tetangga
sedang ada kenduri, barulah mereka bisa merasakan makan enak. Di
sela-sela kesedihan, mereka masih bisa tersenyum jika melihat salah
seorang di antara mereka meneteskan air liur dari ujung bibir, lalu
menghisapnya lagi dalam-dalam, saking menikmati sepotong daging yang
demikian lezatnya.
***
DARI hari ke hari, kehidupan di kota itu semakin bertambah kejam.
Kekerasan yang terjadi di tiap sudut kota dan menyebar hingga pelosok
negeri adalah hantu yang tak lagi ditakuti. Pembunuhan, perampokan,
perang saudara, pertikaian antar elite, dentuman bom, dan rentetan
peluru, sudah dianggap klise. Semua orang seperti sepakat bahwa
kekerasan tak ada bedanya seperti menonton telenovela, kuis, atau
sinetron yang mengumbar kemewahan.
Aroma kekerasan yang mengepung negeri itu pun menyergap keluarga
Sumarno. Lewat televisi hitam putih, satu-satunya aset berharga milik
mereka, anak beranak itu terbiasa di suguhi berita kekerasan yang up to
date. Anak Sumarno akan berdecak kagum ketika melihat berita demo-demo
yang berujung adu jotos. Kekaguman mereka bakal bertambah tensinya
begitu melihat darah berceceran di mana-mana. Sumarno dan istrinya tak
ketinggalan. Ketika menyaksikan mimik pengungsi yang kebingungan sambil
menangis, atau sosok politikus yang sedang berkicau merdu dan nyaring,
mereka selalu tertawa terbahak-bahak. Di mata mereka adegan itu sungguh
menggelikan.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar