Rabu, 18 Maret 2015

Pantun Jenaka

Jalan-jalan ke lembangan
jalana gugurudukan
pidato kapanjangan
perut saya kukurubukan

Dulu delman
Sekarang dokar
Dulu teman
Sekarang pacar

Buah mangga buah kedongdong
buah nanas buah apel
buah manggis buah duren
itulah nama" buah buahan.

Jalan jalan ke kota Sumedang
Ada kambung makan rumput
Anak Anak pada senang
Melihat banci bergoyang dangdut

Masak air biar mateng
Sambil nunggu cuci sepeda
Eh lo jangan sok ganteng
Muka lo kaya ketek kera
kalau kamu mencari berita
jangan baca berita basi
Kalau kamu mencari cinta
Jangan cari cinta yang imitasi
buka facebook
harus pakai kata sandi
kamu bau ketek
karena gak mandi

Pergi ke pasar naik onta
Membeli anting intan permata
Gak peduli situ udah tua
Yang penting saling mencinta
bunga melati bunga mawar
bunga mawar bunga melati
aduh pantun ini norak sekali

Mata genit beradu pandang
senyum adik menggoda abang
ayolah dik kita melayang
menuju negri jauh di sebrang

Makan sate di dalam oplet
petik jagung sama singkong
maaf nih gue lagi di toilet
ngetik pantun sambil nongkrong

Orang mudik bawa barang
pakai kain jatuh terguling
sudah senang dilirik orang
setelah sadar ternyata juling

pergi ke Bandung naik Taksi
naik taksi tak perlu bayar
sampai Bandung turun taksi
turun taksi baru bayar..kahkahkah

jalan jalan ke kota depok
nemuin uang segepok
ada apa dibalik tembok
ada nenek lagi cebok

Jalan-jalan ke pinggir empang
nemu sendok dipinggir empang
hati siapa tak bimbang
situ botak minta dikepang

Buah kedondong Buah atep
Dulu bencong sekarang tetep

Pantun Percintaan

Di pinggir kolam makan bubur.
Jangan lupa pakai keripik.
Dari semalem aye ga bisa tidur.
Selalu teringat wajah mu yg cantik.

jln-jln kepasar baru.
jangan lupa beli kain biru.
kalau kamu cinta padaku.
katakanlah I love u.

kalau kau punya keris.
bunuh lah ikan hiu.
kalau kau pandai bahsa inggris.
apah artinya I LOVE u.

jalan-jalan ke kota paris
banyak rumah berbaris-baris
biar mati diujung keris
asal dapat dinda yang manis…

ke cimanggis membeli kopiah
kopiah indah kan kau dapati
begitu banyak gadis yang singgah
hanya dinda yang memikat hati

jika aku seorang pemburu
anak rusa kan kudapati
jika dinda merasa cemburu
tanda cinta masih sejati

darimana datangnya lintah
dari sawah turun ke kali
darimana datangnya cinta
dari mata turun ke hati
Kue cucur dari sang Dewa
Kue lumpia dari bang Tohir
Jujur aku kecewa
Bila semua harus berakhir
Naik Onta lihat Pemandangan
Makan Bubur ditambah Cuka
Biarlah Cinta dan Kenangan
Kan Terkubur bersama Luka
- See more at: http://panduanseoku.blogspot.com/2014/07/kumpulan-contoh-pantun-terbaik-terlengkap.html#sthash.2FYXCmuB.dpuf

Mata yang Berlabuh

Matahari kelabu. Udara bisu.Tak ada suara lengkingan renyai yang menyeruak seperti biasanya setiap kali ia jejakkan kaki di daratan yang berpasir. Tidak pula suara perempuan yang lantang, yang dengan lari-lari kecilnya, menghalau anak yang berlarian di depannya itu dari air laut yang merambati kaki mereka. semuanya telah menghilang.
Tapi masih ada yang belum ditemukan. Karena itu, Abdullah, laki-laki yang berjalan terseok itu, terus mencari-cari. Tangannya telah lelah, hampir tak sisakan tenaga. Tapi gelombang di dadanya lebih besar daripada kehendak tubuhnya. Ia paksakan kakinya melangkah meski nyeri mulai menusuk pada memar kakinya.
Abdullah hentikan langkah. Layangkan matanya pada langit. Ia tidak tahu lagi apakah ini siang atau malam. Waktu telah berhenti sejak peristiwa itu. Tapi ia butuh waktu untuk mengais sisa tenaganya. Lalu apa yang masih menggerakkannya? Tubuh? Tidak. Tubuh itu sudah tidak berfungsi lagi. Namun, kalau pun kaki itu harus dicabut dari tungkainya, Abdullah akan terus berjalan. Semuanya memang telah sirna. Tapi masih ada yang tertinggal. Karena itu, ia masih mencari. Sepanjang beberapa depa, Abdullah kembali menghentikan langkah. Kakinya dilanda nyeri. Seribu semut merah seperti menggigiti urat kakinya. Abdullah Memijit-mijitnya dengan perlahan. Hanya istirahat sejenak. Sebab sesudahnya, dengan rasa sakit yang masih menyisa, Abdullah berjalan kembali.
Mungkin rasa sakit itu sudah hilang. Bersama tumpahan air mata yang membanjir berhari-hari sebelumnya hingga tak menyisa. Meskipun ia minum seluruh air laut di Pantai Ulee Lheu, itu takkan bisa menggantinya. Abdullah pun telah menghapus air mata itu dalam catatan di darahnya. Seperti beku telah membungkus hatinya. Hanya dengan mata ia berjalan. Mata yang gelap.Berhari-hari yang lalu, Abdullah telah jelajahi seluruh tempat. Puing-puing yang luruh. Mayat-mayat yang serak. Ada tetangganya, teman melaut, teman anaknya yang sering menunggui kapal ikan datang, penjaga surau kampung. Namun ia tak ada di sana. Karena itu, Abdullah terus mencari.''Sudahlah, Abdullah. Istirahatlah sejenak. Badanmu sudah letih.''
Ia tidak begitu awas, apakah itu suara istrinya atau tetangganya.
''Nanti saja.
Aku selesaikan dulu pekerjaan ini. Nanti aku kembali.''
Tidak. Ia telah berbohong pada istrinya. Kembali? Aku belum menemukan yang kucari, maka aku tidak akan kembali. Lagipula kemana aku akan kembali? Abdullah menggeleng-gelengkan kepalanya. Tak kan ada langkah surut, suara hati Abdullah kuatkan langkahnya.Istrinya memang memahami sikapnya. Batu yang keras itu tak akan mudah dilebur dalam satu pukulan kampak.''Anakmu sudah menanti. Mengapa engkau masih tak tahu juga, Abdullah. Bukankah engkau tahu mereka sudah menantimu untuk makan siang.''Sedetik tubuh Abdullah mengeras. Matanya tajam menentang ke atas. Ada yang dicarinya di sana. Tapi tak ada apa-apa. Langit tak biru.
Merah memantul dari lensa matanya. Hanya angin yang berkesiur. Selebihnya tak ada.
''Nantilah. Nanti saja. Aku belum ingin pulang.''
''Apa yang kau cari, wahai Abdullah? Kau tak turuti anjuran istrimu.
Mengapa engkau masih bengal juga, Abdullah!
''Itu suara ayahnya. Suaranya keras, seperti dirinya. Abdullah tak peduli.
''Kemana engkau akan pergi, anakku?'' perempuan yang matanya kelabu memanggilnya serupa angin.''Tak usah hiraukan aku, Bu.''Abdullah terus berjalan. Kakinya yang menyusut dari waktu ke waktu dan makin kehilangan daya tak mampu kalahkan kehendaknya.

Kalau Lelaki Itu Pulang...

Jika lelaki itu pulang ke kota kami, tidak akan dilihatnya lagi kakak duduk termenung di muka jendela, memandang gunung ataupun kejauhan tiada batas. Paman Jafar telah membawa kakak ke Pakanbaru bulan lalu dan ibu melepasnya dengan lega berurai air mata. ”Elok-elok di sana,” pesan ibu. ”Paman dan bibi akan menjagamu. Kau akan dimasukkan kerja. Engkau akan mengajar lagi nanti, Nak. Kau senang dapat mengajar lagi, bukan?”
Kakak diam saja. Hanya memandang. Lurus. Kosong, jauh. Lebih-lebih kalau duduk depan jendela. Angin kadang memburai-burai rambutnya sampai masai, namun kakak bergeming. Matanya terus menerawang ke cakrawala. Wajahnya tambah putih, kian lesi. Tidak jarang air matanya merambat sepanjang pipi. ”Kakak! Kakak!” adik-adik mengimbau, berlari mendekati, memeluk, serta menarik-narik tangannya. Kakak tak hirau.
Tetapi ibu terus bicara. Ibu bilang kami juga harus sering bicara dengan kakak, menyeru namanya. ”Tapi kakak diam saja,” kata adik-adik. ”Seperti tak mendengar.”
”Kakak mendengar,” ujar ibu. ”Dia sayang sekali kepada kalian.”
”Mengapa kakak tidak menyahut?” adik terkecil bertanya kepada Kak Lela.
”Kakak sedang malas bicara,” jawab Kak Lela. ”Ajaklah terus berkata-kata.”
”Malas bicara, seperti kalau aku ngambek?”
”Ya. Begitu.”
Sambil lambat-lambat menyisir rambut kakak yang sepinggang ibu berucap, ”Ai, ai, harum dan bagus sekali rambutmu, Mariani. Ikal. Legam. Ah, tidak elok kita terus mengenang yang sudah-sudah sampai rambut tak terurus. Itu, paman dan bibimu tiba, Nak. Salamilah paman dan bibimu.”
Kakak tetap tidak beringsut. Sudah lama kakak serupa patung hidup. Sejak dia tidak jadi mengajar, disusul perginya lelaki itu sembari mengembalikan cincin belah-rotan, tanda pertunangan—tak lama sesudah ayah ditangkap kemudian lenyap entah di mana dan di tangan siapa.
Orang terlalu banyak saat itu mengurung rumah. Membawa ayah. Seolah-olah beliau orang penting, padahal hanya masinis kereta api. Bukan kepala stasiun. Apalagi pengurus ataupun ketua organisasi buruh DKA. Sedang kami hanya bisa memandang, bertangisan. ”Ayaaah! Ayaaah!” kakak meraung-raung mengimbau, tetapi ayah tidak terjangkau. Raib dalam kerumunan manusia yang gemuruh. Paman Jafar yang pulang setelah kejadian itu juga mencari, namun ayah tetap tidak dapat dicari. Sampai kini.
”Baru pekan lalu kuterima surat Kakak,” kata Paman Jafar seperti minta maaf. ”Payah hubungan pos sekarang. Lambat. Aku tidak dapat pula cepat-cepat berangkat, izin dulu ke komandan.”
”Jalan pun buruk, Kak. Berlubang-lubang,” istri paman menambahkan.
”Paham aku itu,” balas ibu mengangguk, lalu menoleh kepada kakak. ”Begitu keadaannya, lihatlah.”
Istri Paman Jafar menghampiri kakak. ”Tapi mau dia makan, Kak?”
”Mau. Disuapi.”
”Disuapi?” Bibi senyum memeluk bahu kakak. ”Disuapi engkau Mariani, anak rancak? Eh, kenapa keningnya ini?” Senyum bibi tiba-tiba lenyap.
”Anak-anak nakal itu,” sahut ibu. ”Tapi tidak dalam. Sudah kering sekarang.”
”Terlalu! Tengoklah, Bang!”
Mendengar ibu menjerit melihat darah muncrat di jidat kakak, aku melesat ke luar rumah. Kuburu anak-anak itu. Ada empat orang, sama besar denganku. Langsung kutumbuk hidung anak terdekat. Dia melengking, berdarah-darah. Yang lain siap-siap menyergap. Tapi seorang terjerembab saat lututnya kusepak. Lantas ku-nyanyah pula mukanya hingga lumat. ”Kalian lukai kakakku! Kalian lukai kakakku!”
Orang-orang berhamburan memisahkan. Ibu-ibu menceracau, berteriak-teriak. ”Dasar kurang ajar! Anak tidak tahu diuntung! Tukang berkelahi!”
”Maling mangga! Pembuat onar! Pembawa sial!”
”Mereka yang salah,” kubilang. ”Mereka lempar kakakku dengan batu.”
”Bohong! Dasar pencuri jambu! Anak Gestapu!”
Melihat puting susu perempuan itu terjuntai panjang dan hitam belum dibenahi sehabis menyusui, kubalas berteriak, ”Kau ibu anjing!” Plak! Tubuhku terhuyung ke belakang. Hampir terjengkang. Kepalaku nanar. Kuping mendenging. Seorang lelaki membelalak garang di depanku, mengibaskan tangan bagai mengusir anjing. ”Pergi!”
Bibi merebahkan kepala kakak di dadanya. Membelai-belai rambut dekat luka. ”Masih rajin engkau mengaji, Mariani? Nanti mengaji, ya. Bibi ingin mendengarmu mengaji. Pamanmu juga.” Tidak berjawab. Hanya bulu mata lentik kakak mengerjap-ngerjap. Kemudian air matanya membersit lambat-lambat, bagai rembesan pada panci rusak.

Purnama Dibalik Cadar

Aku seperti melihat cahaya di balik cadar. Cahaya yang begitu kuat, menembus kain hijau lumut penutup wajah gadis semampai itu. Karena kuatnya, kadang-kadang cahaya itu menelan cadar sang gadis dan menyembullah bulatan bercahaya benderang bagai purnama menyelubungi kepalanya.
Hari itu, gadis bercadar tersebut berada di tengah diskusi tentang emansipasi wanita di Ibnu Sina Auditorium, Universitas Al Azhar, Kairo. Sejak memasuki ruang diskusi, ia sudah memancarkan pesona tersendiri. Ia tampak tinggi semampai, jauh lebih tinggi dari rombongan gadis-gadis berjilbab yang masuk bersamanya. Cara jalannya juga gemulai, dengan sepatu berhak tinggi yang kadang-kadang menyembul di bawah jubah hijaunya.
''Dia Salma Audina, dari Bandung,'' kata kawan di sebelahku, seorang mahasiswa Al Azhar, tahu aku memperhatikan gadis itu.
''Apa dia aktifis Ihwanul Muslimin, Darul Arqam, Mujahidin, atau kelompok garis keras lain,'' tanyaku.
''Kabarnya memang aktifis, tapi tidak jelas dari kelompok mana. Dia kuliah S-2 di filsafat Al Azhar. Baru sebulan di sini.''
''Tapi kenapa pakai cadar? Anak-anak filsafat biasanya liberal.''
''Aku pernah tanyakan itu padanya. Dia bilang, itu cara dia melindungi dirinya dari tatapan mata lapar laki-laki.''
Melihat matanya yang mempesona, dengan bulu-bulu mata yang lentik, kubayangkan wajah gadis itu sangat cantik. Tapi, bagaimana jika bibirnya sumbing, atau pipinya bertembong? Ah, apa peduliku. Aku memang sedang mencari calon istri, karena sudah terlalu lama membujang. Kuliah pasca-sarjanaku sudah selesai, dan gajiku sebagai kabag pendidikan KBRI sudah cukup untuk hidup berumah tangga di Kairo. Tapi, mengapa aku mesti repot menebak-nebak wajah di balik cadar itu? Mahasiswi Indonesia yang cantik, dan tidak bercadar, cukup banyak di Kairo.
Ketika aku masih sibuk dengan pikiranku sendiri, tiba-tiba nama Salma disebut oleh moderator sebagai salah seorang penanya yang dipersilakan maju ke depan. Benar, gadis bercadar itu dengan cekatan berdiri dan melangkah ke depan. Dan, masya Allah , suaranya merdu sekali, tapi tetap tangkas menyusun pemikiran-pemikirannya dalam kalimat-kalimat yang jelas. Dan, ternyata pemikiran-pemikirannya sangat liberal, khas anak filsafat. Ia gugat sistem poligami, yang secara abadi menempatkan perempuan sebagai pelengkap laki-laki. Ia gugat kultur Islam yang masih menempatkan laki-laki sebagai pusat kekuasaan. Ia sebut contoh-contoh kaum perempuan yang menjadi korban laki-laki. Ia sebut Perempuan di Titik Nol Nawal El Sadawi, ia sebut Kartini, ia sebut pula Rabiah al Adawiyah yang tak sudi dijajah laki-laki dan lebih memilih menyerahkan seluruh cintanya pada Tuhan.
Saat itulah aku mulai melihat ada purnama di balik cadarnya. Cahaya itu mula-mula samar-samar, lama-lama makin jelas, seirama tekanan-tekanan pemikirannya, dan akhirnya menyelubungi seluruh kepalanya. 'Ah, mungkin aura kecerdasannya begitu kuat, sehingga muncul sepenuhnya saat berbicara,' pikirku.
''Aku melihat purnama di balik cadarmu,'' kataku seusai diskusi, setelah menghampirinya di lobi auditorium.
Gadis semampai itu tidak menjawab. Hanya mata indahnya menatapku, melempar sejuta pertanyaan. Tapi, aku yakin, perempuan cerdas itu bisa meraba maksudku.
Suatu pagi, aku bertemu lagi dengan gadis bercadar itu. Kulihat dia sedang mancari-cari buku pada rak buku filsafat perpustakaan kampus. Dan, memang ke rak itu pula tujuanku.
''Hai, gadis yang punya purnama,'' tegurku.
''Hai, Pak Imran,'' Dia tampak agak terkejut. Tapi, aku bersyukur, dia ingat namaku.
''Sedang cari buku apa?''
''Buku Annemarie Schimmer. Aku suka baca buku-buku tasawuf.''. ''Bagus itu.''
Kami lantas sama-sama asyik mencari buku. Salma memutari rak untuk menemukan yang dicarinya. Aku sendiri asyik membuka-buka beberapa buku sambil tetap berdiri di sisi rak.
''Mas Imran....''
Tiba-tiba suara Salma mengejutkanku. Ia sudah ada di sebelahku. Aku menoleh dan kami saling berpandangan beberapa saat. Ada pesona yang luar biasa di mata birunya yang bening bagai telaga. Sesaat jiwaku seperti berenang di kesejukannya. Kemudian seperti ada getaran lembut yang menyusup ke hatiku, mungkin juga hatinya, karena ia lantas menunduk tersipu.
Pertemuan kami cukup singkat, karena dia segera pamit untuk siap-siap pergi ke Jerman guna mendaftar kuliah di sana. Kemudian, ia mau ke London dan ke Afghanistan . Tapi, mengapa ke Afghanistan ? Bukankah di sana sedang terjadi pengeboman terhadap markas Alkaidah oleh AS. Ibukota Afghanistan, Kabul, juga terancam jadi sasaran bom. Perburuan terhadap Osamah ben Laden sedang digencarkan oleh AS beserta sekutunya. Juga kampanye anti-terorisme dengan menyudutkan kelompok-kelompok Islam garis keras.
Tiba-tiba aku mengkhawatirkan keselamatan gadis bercadar itu. Apalagi, pasca-tradegi menara kembar WTC, umat Islam dimusuhi di banyak negara kulit putih. Dengan pakaian seperti itu, Salma pasti gampang menjadi sasaran. Apalagi ia mau pergi ke Afghanistan, bisa-bisa kena tuduhan ada hubungan dengan jaringan Alkaidah. Tapi, bagaimana aku dapat mencegahnya, karena dia 'manusia bebas' yang memiliki pikiran dan rencana sendiri.

Daging di Meja Makan

JALAN-JALAN sepanjang kota itu menempati ruang istimewa dalam hati Sumarno, begitu juga sebaliknya.. Berpuluh tahun dia jadi saksi perubahan zaman yang terjadi di kotanya. Andai saja tiap ruas jalan itu punya jemari, tentu nama Sumarno akan mereka catat dengan tinta emas lalu di bingkai dalam sejarah. Tapi apalah artinya jelata seperti Sumarno, yang kaumnya cuma bisa pasrah dan tabah ketika dijadikan tumbal oleh para penguasa.
Sebagai tukang sapu jalan, dia cukup tahu diri untuk membusungkan dada atau mengabarkan pada setiap orang bahwa ia adalah pahlawan. Lelaki tua berbadan kecil, bungkuk, ringkih dan mulai sakit-sakitan itu hanya percaya bahwa sebagian besar kenangan tentang pergulatan hidupnya telah disumbangsihkan untuk jalan-jalan yang hingga saat ini tak seluruhnya mampu ia ingat namanya.
Pagi buta. Sumarno sudah siap menjalankan rutinitas sehari-hari. Dengan senjatanya: sapu lidi, karung goni kumal, dan seragam yang sudah tidak layak membungkus tubuh; Sumarno bak serdadu yang siap bertempur ke medan perang. Dia pergi diam-diam tanpa pamit pada istri atau anak-anaknya. Tak tega ia membangunkan mereka. Biarlah anak beranak itu tersenyum dalam mimpi indahnya masing-masing, sebab cuma tinggal mimpilah yang bisa mereka miliki secara gratis.
Berjalan menyusuri kota yang masih pulas, Sumarno ingat kemarin ada demo lagi. Ribuan orang tumpah ruah di jalan. Entah apalagi yang mereka tuntut. Bagi Sumarno, usai pesta rakyat itu berarti tumpukan sampah berserak di mana-mana, dan dia bertanggung jawab membersihkannya. Sumarno pernah ngedumel. Apa mereka tidak sadar kalau ulah mereka membuat bebannya tambah berat? Tapi siapa yang peduli pada Sumarno. Apalah artinya keringat tukang sapu jalan, dibanding niat tulus para demonstran yang, konon, demi masa depan bangsa. Toh, sampah-sampah itu tetap harus dilenyapkan. Atasannya pernah memuji peran Sumarno dan rekan-rekan seperjuangannya. Karena jasa merekalah kota itu bisa mempertahankan Adipura untuk kelima kalinya.
Meski cuma tamatan SD, Sumarno tahu lingkungan kotor membuat hidup tak nyaman. Apa jadinya kota yang hiasi sampah? Para pejabat pasti malu bukan kepalang kalau turis-turis bule yang mampir menganggap sampah sebagai ciri khas kota itu. Sumarno pun maklum kalau sampah jadi barang haram di kota itu. Tapi Sumarno manusia, bukan robot atau binatang. Dalam tubuhnya ada jiwa dan hati nurani. Maka, dalam hati sering dia memaki, ‘'Apa pejabat-pejabat itu juga ngerti kalau aku ini orang miskin? Yang aku butuhkan itu uang! Bukan pujian! Bukan penghargaan! Aku perlu uang, untuk mengganjal perut anak istriku! Heh, apakah mereka itu manusia juga?''
***
SUMARNO duduk terpekur di trotoar jalan. Dia ingin istirahat barang sejenak. Sudah ratusan meter dia menyapu jalan. Keringat menyembul satu-satu dari pori-pori kulitnya. Gelas plastik, koran, bungkus nasi, poster-poster, bungkus rokok, dan spanduk-spanduk, masih bertaburan di depan matanya. Di mana para demonstran itu sekarang? Mereka pasti masih ngorok ditemani mimpi-mimpi muluk tentang negeri mereka. Omong kosong mereka semua itu! Batin Sumarno memaki di antara dengus nafasnya. Semenjak sang raja di depak jatuh, kiai jadi presiden, sampai kaum hawa jadi penguasa, toh nasib tukang sapu tidak bergeser sesenti pun. Aku tetap orang kere, pikirnya.
Entah dari mana datangnya, kesadaran Sumarno membentur sekelumit kenangan masa kecil di kampungnya dulu. Almarhum Emak selalu mengingatkan Sumarno untuk selalu bangun pagi. ‘'Biar rezekimu tidak di patuk ayam,'' begitu kata almarhum emaknya.
Membandingkan nasehat itu dengan kondisinya saat ini, Sumarno tersenyum getir. Dari dulu sampai sekarang, dia memang tidak pernah telat bangun pagi. Dia malah sering bangun lebih cepat dari kokok ayam. Tapi, kalau soal rezeki, kenapa dia selalu kalah cepat dengan binatang bertaji itu?
Sejak dulu hingga zaman —yang kata orang-orang— reformasi ini, Sumarno tetap seorang kacung yang gajinya mentok untuk makan seminggu. Untuk makan selanjutnya harus diperjuangkan sendiri. Jadi makelar, pesuruh, atau apa saja asal menghasilkan uang halal. Untung istri dan empat anaknya bukan tipe manusia yang banyak menuntut. Giyarsih, istrinya, jadi tukang cuci di perumahan dekat gubuk mereka. Upahnya lumayan. Keempat anak yang masih kecil-kecil itu pun sudah ditempanya jadi manusia yang gagah menghadapi kemelaratan. Si Mardi, putra sulungnya, jadi penjual koran setelah putus sekolah. Sementara Barkah, anak kedua, tak pernah mengeluh meski jadi penyemir sepatu. Mungkin dua anaknya yang lain, Sumiati dan Lestari, bakal menyusul jejak kedua kakak mereka lulus SD nanti. Bisa baca tulis saja sudah cukup, biar kelak tidak gampang di kelabui orang pintar.
Begitulah, anak beranak itu jadi tulang punggung bersama keluarganya. Setiap malam, uang hasil memeras keringat itu disatukan dan esok paginya dibelikan beras serta lauk pauk ala kadarnya. Tak pernah ada menu daging di meja makan itu. Kalau lebaran tiba atau tetangga sedang ada kenduri, barulah mereka bisa merasakan makan enak. Di sela-sela kesedihan, mereka masih bisa tersenyum jika melihat salah seorang di antara mereka meneteskan air liur dari ujung bibir, lalu menghisapnya lagi dalam-dalam, saking menikmati sepotong daging yang demikian lezatnya.
***
DARI hari ke hari, kehidupan di kota itu semakin bertambah kejam. Kekerasan yang terjadi di tiap sudut kota dan menyebar hingga pelosok negeri adalah hantu yang tak lagi ditakuti. Pembunuhan, perampokan, perang saudara, pertikaian antar elite, dentuman bom, dan rentetan peluru, sudah dianggap klise. Semua orang seperti sepakat bahwa kekerasan tak ada bedanya seperti menonton telenovela, kuis, atau sinetron yang mengumbar kemewahan.
Aroma kekerasan yang mengepung negeri itu pun menyergap keluarga Sumarno. Lewat televisi hitam putih, satu-satunya aset berharga milik mereka, anak beranak itu terbiasa di suguhi berita kekerasan yang up to date. Anak Sumarno akan berdecak kagum ketika melihat berita demo-demo yang berujung adu jotos. Kekaguman mereka bakal bertambah tensinya begitu melihat darah berceceran di mana-mana. Sumarno dan istrinya tak ketinggalan. Ketika menyaksikan mimik pengungsi yang kebingungan sambil menangis, atau sosok politikus yang sedang berkicau merdu dan nyaring, mereka selalu tertawa terbahak-bahak. Di mata mereka adegan itu sungguh menggelikan.
***

Mawar Biru

UDARA seperti membeku di Adelweis Room, sebuah kamar rawat inap, di RS Fatmawati, Jakarta Selatan. Dan, di tempat tidur yang serba putih, Novia terbaring beku dalam waktu yang juga membeku. Ia tidak berani menghitung lagi berapa kali jarum jam di ruangan itu melewati angka dua belas, makin mendekati ajal yang bakal menjemputnya.
Dokter telah memprediksi usianya tinggal sekitar sebulan karena leukimia yang akut, dan satu-satunya yang ia tunggu dari kekasihnya adalah sekuntum mawar biru. Ya, mawar biru. Bukan mawar merah atau putih. Dan, hanya sekuntum, bukan seikat atau sekeranjang.
Tapi, adakah mawar berwarna biru? Sang kekasih, Norhuda, sebenarnya tidak yakin. Yang pernah ia lihat adalah mawar merah, putih, atau kuning. Ketiganya tumbuh dan berbunga lebat di halaman rumahnya. Tapi, mawar biru? Ia tidak yakin. Bunga berwarna biru yang pernah ia lihat hanya anggrek bulan dan anyelir. Itupun bukan persis biru, tapi keunguan.
“Apa kau yakin ada mawar berwarna biru, Sayang?”
“Aku yakin. Aku pernah melihatnya.”
 “Bukan dalam mimpi?”
  “Bukan. Di sebuah taman. Tapi, aku lupa taman itu. Rasa-rasanya di Jakarta.”
Norhuda terdiam. Dari bola matanya terpancar keraguan, dan itu ditangkap oleh Novia.
 “Carilah, Sayang. Jangan ragu-ragu. Hanya itu yang aku pinta darimu, sebagai permintaan terakhirku. Carilah dengan rasa cinta.” Novia berusaha meyakinkan.
Maka, dengan rasa cinta, berangkatlah Norhuda mencari sekuntum mawar biru permintaan kekasihnya itu. Ia langsung menuju taman-taman kota Jakarta, dan menyelusuri seluruh sudutnya. Tidak menemukannya di sana, ia pun menyelusuri semua taman milik para penjual tanaman hias dan toko bunga. Bahkan ia juga keluar masuk kampung dan kompleks perumahan serta real estate , memeriksa tiap halaman rumah dan taman-taman di sana. Berhari-hari ia bertanya-tanya ke sana kemari, mencari mawar berwarna biru.
 “Bunga mawar berwarna biru adanya di mana ya? Aku sedang membutuhkannya!” tanyanya pada seorang mahasiswa IPB, kawan kentalnya.
 “Ah, ada-ada saja kamu. Biar kamu cari sampai ke ujung dunia pun enggak bakal ada.”
 “Tapi, Novia pernah melihatnya.”
 “Bunga kertas kali!”
 “Jangan bercanda! Ini serius. Usia dia tinggal dua minggu lagi. Hanya sekuntum mawar biru yang dia minta dariku untuk dibawa mati.”
 “Kalau memang tidak ada harus bilang bagaimana?”
Norhuda lemas mendengar jawaban itu. Ia sadar, siapa pun tidak akan dapat menemukan sesuatu yang tidak pernah ada, kecuali jika Tuhan tiba-tiba menciptakannya. Tapi bagaimana ia harus meyakinkan Novia bahwa mawar itu memang tidak ada, selain dalam mimpi. Jangan-jangan ia memang melihatnya hanya dalam mimpi?
* * *
Selanjutnya: Mawar Biru Untuk Novia 2

Pembuat Kubah dan Tukang Pos

IA lelaki tua pembuat kubah yang bekerja setelah fajar dan berhenti saat pudar matahari. Tujuh hari sepekan, tiga puluh hari sebulan, dise- ling kegiatan lain yang tak dapat diabaikan: makan, tidur, ke masjid tiap Jumat, bersapaan dengan tetangga atau kenalan yang lewat.
Juga dengan tukang pos muda yang selalu berhenti di tepi jalan di luar pagar halaman.
Tiap kali sepeda motor tukang pos itu terdengar, si tua itu akan menelengkan kepala yang nyaris botak serta beruban. Menegak-negakkan punggung yang bungkuk, mendekat tertatih-tatih. "Wah. Kosong, Pak Kubah!" sambut tukang pos.
"Kosong?"
"Mungkin besok," suara tukang pos seperti membujuk.
"Ya, mudah-mudahan." Pembuat kubah itu manggut-manggut.
"Banyak surat diantar hari ini?"
"Lumayan, Pak Kubah. Semoga isinya pun berita gembira."
"Mudah-mudahan. Menyenangkan dapat menggembirakan orang, Pak Pos."
"Tapi awak hanya tukang pos, Pak Kubah." "Hehehe. Tidak ada Pak Pos kegembiraan malah tak sampai."
"Terima kasih. Mudah-mudahan besok giliran Pak Kubah."
Tukang pos itu selalu berhenti di luar pagar meski tahu tidak ada surat untuk laki-laki tua itu. Pembuat kubah itu tidak punya siapa-siapa dalam hidupnya. Kecuali tetangga, pemesan kubah, orang lepau tempat makan serta penjual bahan untuk kubah.
Istrinya meninggal belasan tahun lalu. Satu-satunya anaknya, lelaki, mati waktu kecil. Tetapi si tua itu mengesankan seolah anak itu masih ada, sudah dewasa, dan merantau seperti lazimnya anak-anak muda kota itu. Begitu didengar si tukang pos muda waktu baru bertugas di kota itu, menggantikan tukang pos tua yang kini pensiun.
"Kurang waras?" tukang pos muda itu bertanya pada tukang pos tua.
"Tidak. Malah ramah, juga rajin. Kerja sejak pagi, berhenti menjelang magrib. Bayangkan. Tiap hari begitu, berpuluh tahun."
"Sejak muda membuat kubah?"
"Kata orang, sejak kecil," ujar tukang pos tua. "Langganannya tidak cuma dari kota ini saja. Dan tak pernah dia pasang tarif."
"Maksud Bapak?"
"Ia hanya menyebut modal pembuat kubah. Terserah, mau dibayar berapa."
"Wah!"
"Punggungnya pun tambah bungkuk tiap selesai bikin kubah." Tukang pos muda itu kembali melongo. "Maksudnya bagaimana?" "Punggung pembuat kubah itu," kata tukang pos tua menjelaskan. "Tiap kali selesai membuat kubah tampak makin lengkung, sehingga mukanya seperti mendekat terus ke tanah. Seolah-olah ingin mencium tanah!"
Mungkin karena cerita-cerita itu, atau iba pada kesendirian lelaki tua itu serta takjub melihat ketabahannya menanti surat yang tak kunjung tiba, si tukang pos muda akhirnya mengabulkan permintaan tukang pos tua. Kecuali hari libur dan Minggu ia berhenti di pinggir jalan, mengucapkan tidak ada surat dan bicara sejenak dengan si pembuat kubah. Saat ia melaju lagi di jalan dilihatnya lelaki tua itu kembali bekerja. Punggungnya lengkung, amat lengkung tak ubahnya batang-batang padi.
"Nah! Betul, kan ?" sambut tukang pos tua ketika tukang pos muda itu bertamu sore-sore dan bercerita.
Tukang pos muda itu membenarkan. "Tapi kenapa bisa begitu?" tanyanya.
"Tidak ada yang tahu. Sejak tugas di kota ini saya dapati seperti itu. Boleh jadi hanya pembuat kubah itu sendiri yang tahu."
"Tidak pernah Bapak tanya?"
"Tak tega saya. Dia baik dan ramah sekali," jawab tukang pos tua. "Saya cuma singgah tiap hari, bicara sebentar saling bertanya kabar, lalu bilang tidak ada surat dan mungkin besok."
Tetapi tukang pos muda itu tega bertanya. Dan pembuat kubah tua itu terkekeh mendengarnya. "Ada-ada saja," katanya. "Padi memang begitu, Pak Pos. Eh mestinya hati manusia juga, ya. Tetapi punggung saya, hehehe, ada-ada saja Pak Pos Tua dan orang-orang itu."
"Jadi Pak Kubah sama sekali tidak merasa, bahwa punggung,"
"Hehehe. Punggung ini tentu tambah bungkuk, Pak Pos. Maklum, makin tua. Agaknya setua ayah Pak Pos. Ah, tidak. Pasti saya lebih tua. Pasti. Tapi anak saya ya, anak saya mungkin sebaya Pak Pos. Eh, belum ada surat dia?"
"Oh. Belum, Pak Kubah. Kosong. Mudah-mudahan besok."
"Ya, ya. Mudah-mudahan." Pembuat kubah itu manggut-manggut.
Sejak itu si tukang pos muda berhenti di pinggir jalan di luar pagar si pembuat kubah. Tidak kecuali libur atau Minggu. Apalagi sebagai orang baru di kota itu belum banyak dia punya kenalan, untuk kawan berbincang seusai kerja atau saat senggang. Ibunya di kampung sudah mencarikan gadis buat pendamping hidupnya, dan tukang pos muda itu pun telah setuju, tetapi belum berani melamar mengingat gaji yang tak memadai untuk hidup berdua. Dia juga tidak mendamba yang muluk-muluk. Tapi, menurutnya, hidup dalam perkawinan seyogianya lebih baik daripada saat sendiri. Kadang tukang pos itu juga memarkir sepeda motornya di halaman merangkap bengkel lelaki tua itu, hingga mereka leluasa bercakap-cakap. Pembuat kubah itu pun senang ditemani. Kadang-kadang, meski dicegah si tukang pos dia berteriak ke lepau seberang jalan memesan dua gelas the juga pisang goreng, lalu bercakap-cakap sambil minum teh serta menyantap pisang goreng.
Selanjutnya: Pembuat Kubah dan Tukang Pos 2

Sebab Nek Yam Sudah ke Jakarta

Sudah dari dulu niat sungguh-sungguh itu terbesit di benak Nek Yam -- ingin sekali mengunjungi Jakarta .
Tak tahu Nek Yam sebabnya apa. Entah jin apa pula yang telah membisikkan hasrat itu. Yang jelas, keinginan itu kian menggebu saja tiap malam dan siang bertukar.
Jakarta menurut bayangan Nek Yam adalah kota yang sangat indah. Seperti yang kerap disaksikannya pada teve si Syam, tetangga dekat rumahnya -- malam hari penuh terang dengan lampu-lampu cantik terpajang di sepanjang jalan. Pun gedung-gedung yang tingginya seratus kali, malah lebih, dari gubuk reotnya.
Berharap sekali Nek Yam dapat merengkuh indah itu. Ingin kakinya terjejak di tanah Jakarta itu, meski cuma sekali selama masa hayatnya.
Sayang tapi, niat itu tak pernah terwujud. Apalagi kini kondisinya sebatang kara setelah ditinggal mati suaminya tujuh tahun lalu. Angan itu laksana pungguk rindukan bulan. Semasa ada suaminya pun, angan itu tak sanggup terjelma, apalagi tanpa lelaki itu kini.
Namun, lintas hidup seorang manusia tak dapat diterka oleh siapa pun. Nek Yam tak pernah menyangka jikalau hasratnya itu bisa terkabul juga akhirnya. Manakala usianya kian uzur pula.
Kala itu, tanah kelahiran Nek Yam, Tanoh Seuramoe Mekkah, ditimpa bencana teramat dahsyat. Banyak orang menyebutnya
'tsunami'.
Tsunami adalah air bah hitam yang berarus kuat dan mempunyai ombak yang sungguh tinggi. Cerita orang yang sempat melihat langsung, tinggi ombak itu nyaris sepadan dengan tiga kali tiang listrik. Mengerikan!
Tsunami itu telah meratakan sejajar tanah seluruh perumahan di tanah Aceh. Gubuk reot Nek Yam, yang berlokasi di Alue Naga, tak luput dari terjangan air bah hitam itu. Nek Yan beruntung meski, saat naas itu datang, kebetulan sosok itu tengah berada di Tanjung Selamat -- salah satu kawasan yang tak terjamah tsunami. Jika tidak, mungkin tubuh Nek Yam termasuk salah satu dari ratusan ribu manusia yang telah dipanggil oleh-Nya dalam tempo sekitar tujuh menit.
Empat hari baru usia bencana itu, manakala Nek Yam menjejakkan sepasang kakinya kembali ke Alue Naga, ingin melihat kondisi gubuk mungilnya. Namun hanya hampa yang terbentang luas di sana. Tanpa satu sisi rumah pun.
Seluruhnya telah dijarah paksa oleh tsunami.
Terpaku Nek Yam menatap pemandangan langka itu. Berdiri di manakah dia, tak tahu Nek Yam, sebab halaman di Alue Naga tak lagi berbatas pagar ataupun lainnya. Pun Nek Yam tak tahu juga di mana bekas rumahnya dulu. Tampak tersatukan semuanya.
Lama keterpakuan itu menaungi tiap inci dari tubuh senja Nek Yam. Pikiran itu terbayang panjang. Melamun, tak sadar hadir sendiri. Desah nafas berat berantrian sesak untuk mengudara.
Baru tersentak Nek Yam tatkala mampir tepukan halus di pundaknya. Menoleh lekas Nek Yam, ternyata seorang gadis muda cantik yang telah menepuk pundaknya barusan.
Terjadi percakapan serius di antara dua wanita yang berbeda generasi itu. Untung Nek Yam mahfum dengan bicara perempuan yang menggunakan bahasa Indonesia itu, meski wanita senja itu tak terlalu fasih bercakap dalam bahasa itu.
Dari pembicaraan itu tahulah Nek Yam, kalau perempuan muda itu bernama Leni Marlina. Non Leni, begitu Nek Yam menyapa gadis itu, atas suruhan gadis itu sendiri. Tahu juga Nek Yam, bila Non Leni itu datang dari Jakarta.
Manakala mendengar Jakarta, angan Nek Yam kembali terbit setelah terselubung banyak hal sebelumnya. Ingin sekali Nek Yam bersimpuh di hadapan gadis yang sepertinya belum menikah itu, memohon agar sosok itu membawanya ke Jakarta saat dia pulang ke sana nanti.
Malu tapi Nek Yam untuk melakukan itu, sebab gadis itu bukanlah apa-apanya. Kenal pun, dalam tempo singkat. Niat itu akhirnya hanya terbiarkan terkubur jauh di dalam relung hati Nek Yam.
Saat perjumpaan untuk kali kedua dengan gadis itu, juga di Alue Naga, nurani Nek Yam masih serupa -- sungguh ingin mengeluarkan unek terpendamnya. Tapi kembali ganjal itu tak sanggup teterbangkan juga.
Hari ke sembilan setelah tsunami, pertemuan itu berulang. Lama keduanya berbicara lebar. Gadis itu bertanya tentang keluarga Nek Yam. Nek Yam agak tersendat menggulir cerita. Dia mengatakan bahwa dirinya sudah lama hidup sebatang kara. Tanpa suami dan juga anak.
Perempuan itu tampak terkejut mendengar penuturan Nek Yam. Juga gadis itu menanyakan, akan kemanakah Nem Yam setelah rumahnya tak lagi ada. "Mungkin saya akan tinggal di pengungsian."
Untuk kedua kalinya, gadis muda itu tampak terkejut mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Nek Yam. Terbisu sesaat. Entah hal apa yang tengah berkecamuk dalam pikiran gadis itu.
"Ibu mau ikut saya ke Jakarta?" tak dinyana rangkai kata itu terlontar dari mulut gadis di depan Nek Yam.
Andaikata masih kuat, maunya Nek Yam berjingkrak-jingkrak saat kupingnya menangkap bunyi barusan.
"Apa, Non?" takutnya Nek Yam salah dengar.
"Apa ibu mau ikut saya ke Jakarta?" tak salah rupanya indera pendengaran Nek Yam.
Tak menunggu ulang untuk ketiga kalinya, sebuah anggukan cepat dan beriring senyum paling bahagia, terpasang di kepala Nek Yam.
Nek Yam diajak ke Jakarta!
Berangkatlah Nek Yam dan gadis muda itu ke Jakarta dengan menggunakan pesawat terbang kelas paling ekslusif. Luar biasa senangnya Nek Yam bisa berada di dalam tranportasi udara itu. Selama di perjalanan, tak henti perempuan senja itu berceloteh kegirangan.
Tiba di Jakarta, girang Nek Yam total sudah -- tak menduga sama sekali bila tanah kota impiannya berada di bawah sepasang telapak kakinya kini. Seperti sedang bermimpi saja rasanya. Teriak kagum keras terdengar dari mulut Nek Yam manakala gadis muda itu menunjuk ke arah bangunan tinggi besar sebagai rumahnya
Selanjutnya: Sebab Nek Yam Sudah ke Jakarta 2

Percintaan Kepompong

Setiap melihat kepompong di daun palem di teras rumahku aku selalu ingat
kata-kata kekasihku: kita, kau dan aku, adalah kepompong, yang menunggu waktu untuk lepas dari bungkusnya dan terbang menjadi kupu-kupu, belalang, atau mungkin burung jiwa.
"Aku lebih suka kupu-kupu. Dengan sayap-sayap bercahaya kita akan terbang ke langit," ujar kekasihku, penuh imajinasi..
Tetapi, aku merasa terlalu lama jiwaku tidur di dalam kepompong itu, entah berapa abad. Namun, kekasihku yakin, makin lama kita bersemayam di dalamnya, akan makin matanglah jiwa kita, dan makin perkasa pula raga kita. "Kalau kau jadi kupu-kupu, kau akan jadi kupu-kupu yang kuat. Kalau kau jadi belalang, akan jadi belalang yang perkasa," katanya.
Tapi, bagaimana kalau kita tidak menjadi apa-apa, atau bahkan mati di dalam kepompong itu, karena tidak punya kekuatan lagi untuk melepaskan diri dari kungkungan derita. "Ah tidak. Kita sedang berproses," katanya. "Kita harus jalani proses itu untuk menjadi."
Untuk menjadi? Menjadi apa? Aku tidak tahu jawabannya, sebab aku tidak punya cita-cita. Aku ingin hidup mengalir saja bagai air, berembus bagai angin, menyebar bagai pasir, meresap bagai garam, menyusup bagai rumput-rumput jiwa.
Tetapi, seperti kata kekasihku, aku jalani juga hidupku sebagai proses proses untuk menjadi. Aku jalani hari-hari manis, juga hari-hari pahit, bersama orang-orang yang bersentuhan denganku, bersama jiwa-jiwa yang bersedia berbagi. Kuliah, pacaran, bekerja, membangun karier, bertahun-tahun, berabad-abad, sampai serasa lumutan.
Tapi, aku sungguh tidak tahan menghadapi tahapan membujang terlalu lama takut menjadi bujang lapuk. Maka, aku pun menikah begitu menemukan gadis yang aku sukai dan bersedia berbagi meskipun lebih banyak berbagi duka sebelum kuntuntaskan cintaku padanya. Sementara, kekasihku begitu tahan menjalani tahapan itu, membujang begitu lama, setidaknya sampai kami bertemu lagi di Jakarta.
"Aku ingin kukuh dalam cinta, cinta pertama," katanya. Aku terkejut sekaligus terpana. "Bukankah kita masih dalam kepompong cinta yang sama? Sayap-sayap kita sedang tumbuh untuk bisa terbang sebagai kupu-kupu, bersama," tambahnya. Imajinatif sekali. Melebihi imajinasi seorang pujangga.
"Tapi aku sudah menikah dan punya anak. Aku bukan lagi yang dulu," kataku. "Masuklah kembali engkau ke dalam kepompongku untuk bercinta seperti dulu," katanya.
"Tapi, bagaimana dengan kepompongku?"
"Buang saja. Tidak ada gunanya. Ia telah pecah oleh perkawinanmu yang tanpa cinta itu."
"Apa? Tanpa cinta? Ah... kau keliru. Aku mencintai istriku."
"Bagaimana engkau bisa berkata begitu jika cintamu tertinggal di sini, di dalam kepompongku. Tiap saat aku dapat merasakan denyutnya."
Aku ingin membantah kata-katanya, bahwa aku benar-benar mencintai istriku, meskipun pada saat yang sama juga mencintai kekasihku. Bukankah lelaki biasa membagi cinta, sebab kodrat lelaki memang poligamis? Karena itu, meskipun aku telah memberikan cinta pada istriku, masih bisa juga aku mencintainya. "Aku masih mencintaimu. Aku masih berhasrat menyatukan jiwa dalam kepompong cintamu," kataku akhirnya.
Sejujurnya, aku memang tidak dapat membohongi hati kecilku bahwa aku menikah bukan semata-mata karena cinta. Tapi, lebih karena tanggung jawab dan kewajiban. Aku memang mencintai istriku, tapi hanya dengan setengah hatiku. Sebab, seperti kata kekasihku, separuh cintaku masih tertinggal dan berdenyut di dalam kepompongnya.
Dan, begitulah. Hari-hari kulalui dalam percintaan ganda. Di rumah aku
bercinta dengan istriku, berkasih sayang dengan anak-anakku, dan membangun kehidupan sakinah dengan mereka. Pada hari-hari tertentu aku mengimami shalat mereka, dan menemani mereka membaca Alquran dalam kasih sayang Yang Maha Kuasa. Tetapi, di luar rumah aku selalu rindu untuk memasuki kepompong cinta kekasihku, memenuhi yang belum terpenuhi, mencintai yang belum tercintai.
Kadang-kadang, bosan bermain kata-kata dalam imajinasi-imajinasi indah itu ini yang selalu aku lakukan sambil menatap wajahnya yang ayu dan senyumnya yang bagai irisan salju kami menciptakan kepompong dari selimut tebal di suatu tempat yang sejuk dan sepi.
"Saatnya kita masuk ke dalam kepompong yang sebenarnya," katanya tiap kali kami merentangkan selimut tebal seperti biasa.
Dan, kami pun berada di dalam selimut yang menutup sejak ujung kaki sampai ujung rambut kami. Seperti dulu, ketika kami masih sama-sama di Yogya, aku kembali merasakan hangat tubuhnya, degup jantungnya, lembut nafasnya, dan harum rambutnya.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanyanya.
"Kita tidur seperti bayi kupu-kupu sampai sayap-sayap kita tumbuh dengan perkasa untuk terbang ke langit bersama," kataku.
"Apakah kau masih tidak ingin menikmati keperawananku."
"Siapa tidak ingin menikmati keperawanan gadis secantik kau? Tapi, tidak. Aku tidak ingin merampas hak suamimu. Siapapun dia, kelak. Aku lebih suka menjaga kemurnian cinta kita, tanpa seks!"
"Kau memang lelaki yang luar biasa."
"Luar biasa bodohnya, maksudmu?"
"Ha ha ha…!"
Kekasihku tertawa di dalam selimut, cukup keras, hingga kepompong cinta kami serasa bergetar mau pecah. Tentu, menertawai kebodohanku. Tetapi, anehnya, sepuluh tahun lebih, dia tetap sabar mempertahankan cintanya pada lelaki bodoh seperti aku. Bukankah itu berarti dia, kekasihku, juga bodoh sepertiku? Ya, mau-maunya dia terus mencintai lelaki yang tidak mungkin lagi mengawininya, karena sudah beristri dan beranak. Apakah cinta memang misteri yang sulit dipahami, yang sulit ditolak kehadirannya dan sulit diusir pergi? Atau, kami memang orang-orang aneh yang ingin terus bercinta sebatas keindahan imajinasi?
Sebagai wanita karier yang cukup jelita bukannya tidak pernah ada lelaki lain yang menginginkan kekasihku. Banyak. Banyak sekali. Beberapa kali aku pun perah memergoki dia berjalan dengan seorang lelaki di suatu mal atau lobi bioskop. Tetapi, lagi-lagi, tiap kali kupergoki begitu, tidak lama kemudian dia langsung meneleponku bahwa lelaki itu hanya kawan biasa.
Suatu hari pernah pula aku melihat kekasihku dikejar-kejar oleh seorang manajer tempatnya bekerja. Aku dengar lelaki itu sangat tertarik padanya. Kekasihku didekati dengan sedannya yang mulus, dibukakan pintu dan dipersilakan masuk. Tetapi, dengan halus kekasihku menolaknya. Dan, ketika kutanya mengapa, kekasihku hanya menjawab, "Aku masih suka tidur sebagai bayi kupu-kupu di dalam kepompong cinta kita."
Kadang-kadang aku merasa khawatir juga, jangan-jangan kekasihku benar-benar menunggu lamaranku untuk kunikahi. Sebab, suatu hari ia pernah mengatakan, "aku sering merasa diciptakan hanya untukmu." Dan, bukannya aku tidak berani melamar dan menikahinya, atau bermaksud sengaja mempermainkannya. Sama sekali tidak! Tetapi, lebih karena aku sudah memiliki anak dan istri, dan sejujurnya belum punya nyali untuk berpoligami. Kadang-kadang, aku ingin nekat saja menikahinya sebagai istri kedua. Tetapi, tiap aku menatap wajah istri dan anak-anakku yang polos-polos yang tidak berdosa, yang saat tidur seperti menyerahkan seluruh nasibnya padaku, aku menjadi tidak sampai hati melakukannya. Aku tidak tega membayangkan keluargaku, yang aku bina sepuluh tahun lebih, tiba-tiba tercerai berai karena pernikahan keduaku.
Tetapi, bagaimana kalau kekasihku memang benar-benar menungguku, dan terus menungguku bertahun-tahun lagi, berpuluh-puluh tahun lagi, berabad-abad lagi, sampai hilang seluruh kecantikannya secara sia-sia? Bukankah itu artinya aku menyia-nyiakannya? Bukankah itu artinya aku juga berdosa?
Selanjutnya: Percintaan Kepompong 2

Love = Cinta

Jamahlah rinduku yang tertuang di lepas malam ini.
Hirup wangi cinta yang semerbak mewangi mengiringi rindu.
Bayang wajahmu menghiasi relung hatiku.
Mewarnai sukma pemandangan jiwa.

Rasa yang dulu terkubur ntah dimana.
Kini bangkit.
Khayalku tak mampu menerka mengapa itu bisa terjadi.
Aku hanya tahu, aku cinta kamu.

Jalinan cinta kita yang suci tanpa noda.
Terhiasi bulir-bulir kenangan indah.
Bersama kita lewati jalan romansa ini.
Taklukkan halang rintang yang setia menemani.

Rembesan hujan tadi menjadi saksi bisu.
Kecupan hangat kuhaturkan untuk menenangkan hatimu.
Menyalurkan cinta.
Menawarkan keraguan hati.

Dengarkanlah bisik hatiku.
Pahamilah bisik hatiku.
Rasakanlah bisik hatiku, dan
Sambutlah bisik hatiku.

Bersama kita tanam benih cinta ini.
Menuai bersama ketika semi datang.
Bertahan saat gugur menyapa.
Mendinginkan ketika panas menyentuh, dan
Menghangatkan saat dingin memeluk.

Ketika ragu menghampiri.
Percayalah aku akan menyeka keraguan itu.
Ketika luka menggoresmu.
Percayalah aku yang memegang penawar luka itu.

Ketahuilah,
Mengertilah,
Tetapkanlah, bahwa
Love = Cinta . . .

When I'm Missing You

Kangen yang tak berujung menghampiri hati.
Rindu yang tak berdosa menyambangi jiwa.
Terdiam.
Aku kembali terdiam.

Pertemuan singkat tadi melegakan jiwa.
Dinginnya hati kembali menghangat melihat sosok dirimu.
Hanya obrolan singkat yang keluar dari mulutku.
Menahan hasrat ingin memeluk dirimu.

Ketika kangen.
Sampaikanlah pada malam.
Ketika rindu.
Sampaikanlah pada angin.

Malam yang setia akan menyampaikan kangen.
Angin yang tenang menyejukkan akan menyampaikan rindu.
Rindu yang kurasakan bermekaran tanpa meminta pupuk.
Rindu yang kualami tumbuh tanpa meminta aliran air.

Jemariku mengeluarkan hasrat rindu.
Kata-kata kurangkai mengalirkan hasrat rindu.
Lidahku sunyi menahan siksaan hasrat rindu.
Pikiranku penuh memuat hasrat rindu.

Aku rindu kamu.
Aku kangen kamu.
Tak ada keraguan atas itu.
Yakinlah,
seyakin cintaku yang mencintaimu . . .

Look ! Eyes Have Been Said A Love

Kamu yang sekarang memenuhi relung hatiku.
Kamu yang sekarang menghias mimpi-mimpi kelamku.
Kamu yang mewarnai kehidupanku.
Kamu yang menorehkan kenangan dikepalaku.

Langit diatas berbisik kekelaman kepadaku.
Memenuhi telinga halusku akan godaan memilikimu.
Tak sanggup menolak, namun tak bisa juga menerima.
Langit tetap setia membisikkan hal itu bahkan ketika aku berkelana di
alam mimpi.
Sungguh suatu kesetiaan yang sudah lama kunantikan.

Aku tertunduk ketika tahu hanya bisa berharap.
Aku terdiam ketika memahami bahwa cinta tak mesti memiliki.
Melepasmu tertawa bersama yang lain.
Merelakanmu mencintai yang lain.

Tampakkah dimataku ketika menatapmu, ketika berbicara padamu ?
Tampakkah cinta disetiap tawa yang coba aku hadirkan padamu?
Tatap, pahami dan resapi.
Hatiku remuk, namun demi kamu aku rela.

Cinta yang kurasakan tak sempat terungkap.
Bagai kayu yang tak sempat memohon ketika api memanjakannya.
Cinta yang kurasakan tak sempat terbalas.
Bagai tumbuhan yang tak sempat merasakan lembutnya air hujan.

Sejati Cintamu

Detik perdetik
Selalu ada cinta dibalik namamu
Kian kutelaah
Malah semakin kentara saja
Aku terjerembab
Aku terjerumus
Pada jurang kerinduan
Ah, ternyata masih dari balik namamu
Hingga selalu ada cinta
Kian detik ini

Tak bisa kuberlari tuk menghindar
Sampai kau dapat persembahkan aku
Cinta yang kentara dari balik namamu
Tapi rasanya tak sanggup
kuperbuat lain
selain dari kamu
Cintamu…
Kian detik ini

Sayang,
Pada saatnya nanti
Tiada ada nama lain
Dibalik nama cinta
Adalah namamu
Nama cinta
dialah kamu….

Pada Kamu

Aku melihat suara lewat matamu
Saat bibirmu tertutup rapat
Tapi jelas membuatku makin
menatapmu bersama degup jantungku
yang tak pernah menentu…

Apa pernah kamu mendengar cinta
yang tak bersuara meneriakkan
manisnya kesedihan ?
itulah aku yang ada di kamu
pada sebilah cinta
yang tlah menggores hati
sedalam dalamnya …

Aku melihat suara lewat senyummu
saat matamu terjemahkan rindu
hmm…aku kian terpesona pada indahnya
kamu..
pada cantiknya
kamu

Aku melihat suara setiap saat
lewat segalamu
tentang kamu


Cinta Tersirat
puisi Andri Rusly

Di terangnya purnama
Kau beri aku cerita
Dengan irama genggaman jemari lentik
Pada jemariku
Setiap sesinya begitu indah
Ciptakan gemuruh
Hingga darahku mendidih

Ah,
Temeramnya terang purnamapun
terpancar sampai ke wajahmu
manakala kau tersenyum
bangkitkan mataku tuk menembus
peraduan hati
tempat dimana segala cerita
bertutur cinta
dengan kesyahduannya

Di terangnya purnama
Aku dan kamu
Telah terjalin irama kasmarannya jiwa
Yang kan berjalan telusuri
Setiap titian aral dan lara
Pada muara yang belum terlihat nyata

Cahaya Matamu

Cahaya matamu
Cahaya adalah sinar
Sinar yang tercipta
Dari sang pencipta
Cahaya menerangi di saat kegelapan
Cahaya mampu memberi keindahan
Cahaya mentari
Mampu memberi kesejukan di pagi hari
Cahaya rembulan
Mampu memberi kesempurnaan di malam hari
Cahaya matamu
Mampu membuat ku terpancar kepesonaanmu
Mata itu membuatku terpaku
Terpaku akan tatapanmu
Tatapan mata yang membuat aku luluh
Dan masih ku melihat dari mata itu
Sepasang kerinduan
Sedalam mata itu
Selalu indah berkilau dan bersinar
Dan mata yang paling indah
Hanya "cahaya matamu"
Sampai kapanpun itulah yang terindah

Ketika Kumenatapmu

ketika ku menatap wajah pilu
dalam ratusan hari telah berlalu
wajah pasrah tengadah
pada terang bulan memerah

wajah menusuk sembilu
dalam kalbuku biru

kutengok hari berlalu
berlari diburu sang waktu
terasa cepat..
bagaikan kilat

kakak..
nuraniku terasa tak kuat
mengingat perjumpaan yang singkat

dan ketika rasa itu kembali menyayat
ku kembali menatap
bukan wajah pilu setahun yang lalu

kini,,,,,,,
di bawah naungan kamboja mewangi
di sudut kesunyian abadi
tetes air mata membasah
di atas embun tanah memerah

dalam keabadianmu
ku hanya dapat menguntai kalimat-kalimat
doa yang tak pernah putus

dalam keabadianmu
semoga amalmu
memberi cahaya di kesunyianmu


untuk kakak tercinta

Aku Galau

Sembunyi teramat pedih
Sakit air mataku yang tak henti
Mengalir dengan sedih
Yang tak seharusnya ku puji

Lumpuh-lumpuh dan lumpuh
Aku tak berdaya dengan semua ini
Kau lah yang membuatku rapuh
Yang membuat luka dihati

Kau pun sembunyi dalam ingatanku
Kau menyembunyikanku dari dunia
Menghapusku dari benakmu
Hilang sudah samapai tak bernama

Tinggal Sendiri

Keramaian itu ibarat gundukan kesenangan
Yang telah Menghapus kesepian..
Serta Memecah keheningan

Kesepian telah bersih disapu malam
MengAcuhkan duniaku
Tinggalkan aku disudut kelam
Kau lah yang melumpuhkanku

Duniamu hapuskanku
Keindahan pun menghilang
Sendirii merapuh tanpamu

Untukmu Ayahku

Di keheningan malam..
Datang secercah harapan...
Untuk menyambut jiwamu datang...
Sebercik harapan agar kau kembali pulang..
Hanya sepenggal kata bijak yang bisa kutanamkan...
Duduk sedeku, tangan meminta, mulut bergoyang, jatuh air mata...
Tapi apalah daya..
Semua harapan hilanglah sirna..
Karena kau telah tiada..
Ayahku tercinta..

Sahabat

kala mendung menyelimuti langit
merasaan sedih menggelayut ria
engkau datang dengan senyum
mengais sedih dalam diri
menabur kasih dalam jiwa
tanpa ingi balasan
tanpa ingin upah sedikitpun
mengangkat aku dalam lubang kesedihan
untuk menari bersama dalam cita

Sakit Hati

disaat aku mulai membuka hati,
kau tak mau melangkahkan kaki
disaat aku membencimu,
kau memohon kepadaku
tetapi, mengapa???
disaat aku benar benar mencarimu
kau pergi selamanya
hati ini berlatih melupakanmu
tapi, apa daya!!!
kau cinta pertama dan terakhirku
kau juga orang pertama yang membuat hatiku sakit
disini,aku hanya bisa mengirim do'a
agar kau bahagia selalu.....

Kembali

sekarang aku bisa tersenyum..
menatapmu di dinding malam..
bayangmu tersimpan selalu dalam anganku..
aku ingin ke langit menyatukan bintang-bintang
yang bersinar di kegelapan malam..

sampai mentari terbit,
aku tetap berdoa dalam menjalankan kesetiaan ini,,
kehilangan mungkin,
tapi aku ingin hanyalah maut yang memisahkan
kala mentari meninggi,
aku tetap berdoa untuk tetap ada dan jangan pergi lagi..

Tanpamu

: kini aku tersadar arti pagi tanpamu
arti malam tanpamu
kesunyian hati tanpamu
kerinduan hati tanpamu
semua itu tanpamu

tanpamu..
aku akan baik saja
tanpamu..
aku akan melanjutkan hidup, walau tanpamu

dan bayanganmu tidak akan kuijinkan menari-nari dalam pikiranku.
selamat jalan, aku tanpamu

Cerpen Sedih: Bunga dan Derita

Aku masih terpaku pada deretan bunga sepatu di hadapanku. Bunga yang telah terkatup layu seiring dengan telah lamanya aku menanti seorang pria yang mengajakku kencan di taman ini. Tiga puluh menit dari jadwal janjian, terasa tak jadi masalah saat dari kejauhan terdengar seseorang memanggilku. Namun saat kupalingkan wajahku, aku kecewa bukan main ternyata hanya kegaduhan orang-orang disebrang jalan.

Kembali aku fokuskan perhatianku pada rangkaian bunga dihadapanku. Sesekali kulirik wajahku pada kaca mungil yang sengaja kubawa. Aku harus memastikan saat Dannis datang aku bisa terlihat lebih cantik. Soalnya dia adalah laki-laki pertama yang aku persilahkan untuk mengajak diriku berkencan, ya walau hanya di taman kota saja. Dannis adalah teman sekelasku yang dua tahun terakhir ini aku idam-idamkan tembakannya. Padahal sebelumnya waktu menginjak kelas satu SMA aku sangat tidak akur dengan cowok tengil itu.

Tapi karena suatu moment saat aku cidera diperlombaan basket antar sekolah, dia dengan gagahnya membopong tubuhku. Dari kejadian itulah aku mulai mengalihkan fikiran jelekku kepadanya. Dari yang tadinya evil yang paling dihindari, kini jadi sosok pangeran penolong yang dinantikan kehadirannya.

Jarum jam telah menunjuk angka sembilan.

“Oh Dannis, setega itukah kamu? udah dua jam Nis hikss…..,” aku tejatuh dalam tangis. Anganku telah hancur lebur karena sebuah janji yang tidak ditepati.

Padahal masih hangat di memoriku, tadi siang saat jam istirahat aku mendapati sepucuk surat beramplop merah jambu terselip di mejaku.


Hi Asmi…..

Malam ini aku haraf kita bisa ketemu….
Ada beberapa hal yang perlu aku sampein ke loe Mi….
Gw.. Eh aku ssssstunggu kamu jam tujuh di taman kota yaa….

-Dannis-

Ku ulang kembali hingga tiga kali, aku baca dengan super apik, terutama dibagian pengirim.

“Oh Tuhan, Dannis?” suasana bahagia bercampur haru menyelimuti hatiku.

Nuansa kelas menjadi indah dipenuhi bunga warna-warni. Hingga seseorang menepuk pundakku. Dan suasana kembali berubah menjadi kelas dua belas saat jam istirahat. Sepi, dan terkapar tak berdaya buku-buku yang dilempar majikannya.

“Asmi….”

“Ehhh….. Via, kenapa Vi?
“Loe yang kenapa? Dari tadi Gw intip dari jendela Loe senyum-senyum sendiri….”

Aku disuguhi pertanyaan yang membuat aku kikuk sendiri. Aku tidak bisa membayangkan seberapa merah wajahkun saat itu. Yang pasti saat itu aku benar-benar tertunduk.

“Eng….ngak ko Vi, aku gak kenapa-napa”, sahutku gugup.

“Ya udah Gw mau ke kantin aja, mau ikut gak Mi?”

“Oh gak, maksih aku gak laper.”

Aku segera membalikkan tubuhku, memburu kursi dipojokan kelas. Namun baru beberapa langkah, hartaku yang paling berharga disabet oleh orang dibelakangku.

“ehhhh..”

“Haaa… ternyata ini toh yang bikin Loe jadi gak laper? Hahhahah…”

“Via kembaliin!” ku rebut kembali kertas berharga itu.

“Yah Loe ini Mi, sekalipun Gw gak baca tapi Gw udah tahu isinya apaan.”

“So tahu kamu!”

“Ya Gw tahu, itu surat dari Dannis kan? Dia ngajak kencan? Soalnya nanti malam dia mau……” omongan Via tertahan dengan kedatangan seseorang yang dari tadi dibicarakan.

“Dannis…..” sahut ku dan Via kaget.

“Aduh hampir saja” bisik Via pelan.

“Kenpa Vi?” tanyaku penasaran.

“Ohh enggak! Gw kayaknya ngedadak gak mau kekantin deh!”

“Lantas loe mau kemana Vi?” tanyaku semakin heran.

“Ke WC ya Vi? ya udah sana!” tangkas Dannis plus kedipan kecil dimata kirinya.

“Oh ya bener, hhehhe”

Via telah berlalu, sekarang tinggal aku dan Dannis.

“Gimana?” Tanya Dannis.

“Gimana apanya Nis?”

“Tuu…” tunjuknya ke arah kertas dijemariku.

“Oh oke deh aku mau”

“Ya udah Gw cabut dulu ya!” sahutnya salah tingkah.

“Oh ya…” aku tak kalah salting.

Perlahan Dannis meninggalkan kelas, namun sebelum dia benar-benar pergi dia memanggilku.

“Hmmm…. Vi jangan ampe telat ya!”

“Ok sipp!”

“Awas loh”

“Iya bawel”
***

Dengan berurai air mata dan kecewa, aku putuskan untuk pulang kerumah. Sesampainya dirumah aku semakin kacau dengan disuguhi omelan Bunda, yang malah bikin hatiku semakin hancur saja. Beribu pertanyaan Bunda menghujani aku.

“Dari tadi kamu kemana saja?”

Aku hanya terdiam kaku tanpa menjawab pertanyaan Bunda.

“Jawab!” kali ini nada suara Bunda meninggi,

”Kamu tahu? anak perawan gak baik keluyuran jam segini!” sambung Bunda.

Aku masih tak memberikan respon apa-apa.

Plakkk

Sebuah tamparan menggores pipiku, “Oh Tuhan sakit sekali” bisikku dalam hati.

“Bunda jahat!” aku segera masuk kekamar, kututup rapat pintu kamarku.

Malam ini sungguh menjadi malam yang paling berat untukku. Ini adalah kali pertama Bunda menampar dan memarahiku. Belum lagi dengan perasaanku yang masih kecewa karena kencan pertamaku gagal, karena Dannis tak hadir diundangannya sendiri.

“Oh Tuhan, semalang itukah nasib ku?”

Aku kembali terhanyut dalam tangis, hingga akhirnya aku tertidur pulas.
***

Pagi-pagi sekali aku sudah bersiap-siap untuk pergi kesekolah. Fikirku sudah matang, sesampainya disekolah akan ku beri tamparan mereka berdua.

“Via sama Dannis itu dari mulai sekarang bukan temanku lagi, teman macam apa mereka? Berani ngerjain aku ampe separah itu!” gerutuku kesal

Kakiku masih mengayuh, menyusuri pinggiran jalan kota yang ramai. Namun saat aku melewati Taman Kota kakiku serasa tertahan, aku mengingat peristiwa tadi malam.

“Cuihh….. aku bakalan balas semua rasa sakitku tadi malam!” aku kembali bergerutu kesal.

Aku samakin kesal saat aku menyadari banyak kelopak bunga mawar berantakan diruas jalan.

“Apa-apaan nih, mereka kira aku lagi jatuh cinta apa?” dunia pun seakan menertawakan rasa sakitku dengan menabur bunga di jalanan yang aku lewati ini.

Aku berlari kencang meninggalkan keanehan yang membuat aku semakin gila. Tak membutuhkan waktu yang lama aku telah sampai disekolah.

Hal pertama yang aku lakukan adalah mencari dua orang biadab itu. Tiga puluh menit telah berlalu, aku sudah mengubek-ubek isi sekolah tapi hasilnya nihil, keduanya hilang bak ditelan bayang. Hingga bell masuk pun tiba, tapi keduanya tak kunjung masuk kelas. Sampai pelajaran dimulai, baru sepuluh menit seseorang mengetuk pintu kelas. Aku terperajat kaget “Aku haraf itu Dannis atau Via”. Tapi ternyata bukan, dia adalah Bu Jen, wali kelas kami.

“Pagi anak-anak”

“Pagi Bu……” jawab murid hamper serempak.

“Pagi ini ibu dengan berat hati akan mengabarkan kabar duka kepada kalian”. Semua anak kelas dua belas terlihat tenang mendengar penjelasan Bu Jen.

“Salah satu teman kita, Dannis. Semalam mendapat musibah, dia mengalami kecelakaan yang cukup parah, hingga nyawanya tidak dapat tertolong”. Suara Bu Jen semakin melemah.

Suasana berubah menjadi pilu, tangisan mulai tumpah ruah dimana-mana. Aku sendiri terpasung dalam diam, jantungku berdegup dalam kisah sedih yang tak tertahankan.

“Dannissssss!!!!!”

Aku berteriak sekencang-kencangnya, aku berlari dan terus berlari. Hingga akhirnya aku telah bertepi di ruas jalan di dekat Taman, dimana aspal dipenuhi kelopak bunga yang telah layu diinjak pengguna jalan.

“Oh Tuhan ternyata kelopak bunga ini dipenuhi cipratan darah”

Diri ini semakin berguncang hebat, saat aku temui secarik kertas.


Dear……
Asmi (Calon Kekasihku)
From : Dannis

Kertas kotor bernoda darah itu aku peluk sekuat-kuatnya.

“Dannis…..Hiks” kepala ini semakin tak tertahan, dan akhirnya aku terkapar dalam ketidaksadaran.
***

Mata ini pelan-pelan mulai menatap jelas orang-orang disekelilingku. Ku lihat dengan pasti wajah Bunda dan Via penuh dengan kehawatir dan penasaran.

“Asmi kayaknya udah sadar Tant”

“Iya”

“Aku kenapa Bund?” tanyaku dengan nada berat.

Bunda dan Via menatapku pilu. Aku mulai mengingat deretan kejadian sebelum aku terkapar dalam tempat tidur ini,

“Dann….” Ucapanku terhenti karena sentuhan telunjuk Bunda di bibirku. Bunda menganggukkan kepalanya petanda mengiyakan setiap halus ucapanku,

“Iya, kamu yang sabar ya nak”

Lagi-lagi aku terpaku dalam diam, hanya linangan air mata yang mengalir deras dipipiku.
Via memeluku erat,

“Maafin Gw ya Mi, Hiks… Gw tahu, Gw gx mampu jaga Dannis buat Loe.”

“Hiks…… Dannis”
***

Satu minggu sudah aku mengurung diri dikamar, tanpa bicara dan tak ingin brtemu siapa-siapa.

Tukk tukkkk…..

Seseorang mengetuk pintu kamarku

“Asmi , nih ada Nak Via pengen ketemu kamu.”

“Pergi Kamu!!” bentakku kasar, dan lemparan bantal tepat mendarat diwajah Via saat Bunda membuka pintu kamarku.

“Mi ini Gw, Via”

“Pergi kamu!!! Kamu yang udah bikin Dannis meninggal!!!”

“Ya Gw Mi, Gw yang udah nagsih buku Diary loe itu ke Dannis, yang membuat Dannis sadar tentang semua perasaan Loe ke dia. Tapi asal Loe tahu Diary Loe itu juga yang bikin Dannis sadar kalo cintanya gak bertepuk sebelah tangan!”

“Jadi Dannis……..” ucapanku terhenti, perlahan aku mendekati wajah Via yang basah karena air mata, “Bohong!” bentakku bringas.

“Gak Mi!”

“Alah itu akal-akalan kamu aja, biar aku enggak ngerasa terhianati” sahutku sinis.

“Gak Mi, Loe gak sadar waktu malam itu Dannis terlambat tiga puluh menit, dia terus manggin-manggil Loe, tapi Loe gak denger,” ucapannya terhenti, sesaat Via mengambil nafas panjang “Loe malah sibuk sama riasan Loe itu, sampai akhirnya dia tertabrak karena lari kearah Loe!”

“Bohong!”

“Tidak! Gw liat dngan mata kepala Gw sendiri, Gw yang anter Dannis ke Taman karena dia kelamaan milih bunga di toko bunga nyokap Gw.”

“Dannis….Jadi”

“Jadi gak ada yang terhianati disini, Dannis bener-bener cinta sama Loe Mi! Pliese Loe jalani hidup Loe lagi, buat Dannis Mi!”

“Hiks…….”

Aku menangis sejadi-jadinya, tapi itu akan menjadi tangisan terakhirku. Karena aku telah berjanji untuk menjalani kehidupan ini dengan sebaik mungkin. Karena aku mencintai Dannis, laki-laki yang mencintai aku.
***
The End

Cerpen Horor: The Secret of The Toilet

Judul: The Secret of The Toilet
Kategori: Cerpen Misteri
Penulis: Ray Nurfatimah


Clakk….clakkk…clakkkkkk…..

Tetesan dari kran yang tidak tertutup rapat itu semakin menerorku yang hingga tengah malam ini sukar untuk tertidur. Kulirik bulatan putih didinding yang terhalang remang-remang malam.

“Huff….. mana baru jam sebelas empat lima lagi,” bisikku pelan.

Entah sudah berapa kali aku membolak-balikan bantal usang yang hampir tidak tersentuh sabun selama aku pindah kekosan Bu Alina. Maklum aku adalah seorang siswi kelas tiga SMA yang merangkap menjadi pelayan disebuah restoran siap saji.

Sebelumnya aku tinggal dikosan Bu Dian, tapi karena terbelit hutang kanan kiri, ya dengan terpaksa aku kabur. Padahal malam itu Kak Danar, putra bungsu bu Dian bersikeras menghalangi kepergianku. Aku harus pergi dari pada tiap hari kena omel bu Dian, belum lagi cibiran pedas dari penghuni kos lain tentang hutangku yang belum aku bayar.

Berbekal uang tiga ratus ribu rupiah, hasil penjualan ponsel lamaku . Aku memberanikan diri untuk tinggal dikosan baru dengan menjanjikan upahku sebagai pelayan restoran.

“Akhir bulan nanti segera cair, bu.” bujukku kepada bu Alina saat dia menolak rencanaku tinggal di kossannya.

“Bukan karena kondisi keuanganmu dek Mayang, tapi memang kamar kos disini sudah penuh.” Sahutnya lembut.

Ya memang benar, aku lihat rumah besar yang terdiri dari lima kamar dilantai satu telah penuh sesak diisi oleh sembilan orang penghuni kos dan satu asisten pribadi Bu Alina.

Tapi dengan berbagai pertimbangan, akhirnya beliau menyerahkan kamar putri semata wayangnya yang tengah mengenyam pendidikan di Jepang kepadaku.

“Haduh betapa beruntungnya diriku ini.” Fikiriku sesaat setelah Bu Alina mengesahkan kamar kebanggaan putrinya kepadaku. Betapa tidak kamar ini begitu luas dan satu-satunya kamar yang memiliki toilet sendiri. Apalagi bu Alina dengan cuma-cuma meminjamkan kasur dan meja rias milik putrinya. Hanya saja dia dia tidak membolehkan aku menggunakan lemari besar dikamar itu, mungkin karena lemari itu telah diisi penuh oleh barang-barang milik putrinya.

Tapi untung saja dimeja rias menempel sebuah lemari kecil yang masih bisa aku gunakan untuk menyimpan pakaian ku, dan sebagian lagi bisa aku gantung di pegantungan di belakan pintu.

Kembali kulihat jam, kali ini tepat pukul dua belas malam dan aku aku masih terjaga. Tiba-tiba “Wwhuuuuussshh……..” sekebat angin kencang masuk kerongga kamarku, menyisakan sosok putih yang melambai-lambai didepanku. Seketika aku terkejut, “Sial aku hampir saja membiarkan jendela terbuka semalaman.” Gerutuku sambil menutup jendela dan membenarkan tirai putih yang tersapu angin.
Aku kembali merebahkan tubuh mungilku di kasur besar nan empuk ini. Pelan tapi pasti mata ini mulai menutup.

Byuuuuurrrrr…… Suara guyuran air mengagetkanku.

“Jam segini siapa yang mandi sih? Ganggu orang saja!” gerutuku kuesal

Otaku mulai berfikir waras “Tapi asal suaranya dari…….” Entah mengapa bibirku benar-banar tertahan. Kulirik pintu toilet, dan benar saja dari lubang kunci pintu toilet sesosok wanita berambut panjang tengah tertunduk kaku dibawah cipratan air shower.

“Apa mungkin dia putrinya bu Alin?” fikirku membuyarkan rasa takutku sendiri.

Tanpa berfikir panjang lagi, aku segera beranjak pergi. Namun, baru beberapa langkah menuju tempat tidur, suara tangisan memaksaku untuk kembali.

“Kkenapa Mbak? Mmbak ggak kenapa-napakan?” tanyaku sedikit gugup.

Dia tak kunjung menjawab pertanyaanku, malah tangisannya semakin menjadi.

“Hiks……hiks…… tolong aku hikksss….”

Suara tangisan itu menggema mendominasi kamarku. Aku benar-benar panik. Sekuat tenaga kucoba rubuhkan pintu berbahan plastik itu, dan hasilnya nihil. Tangisannya pelan-pelan meredup. Kulihat kembali dari lubang kunci, dan betapa kagetnya aku saat kulihat tubuh wanita misterius itu kini tak utuh lagi. Berdiri lesu sesosok tubuh tanpa kepala, lehernya dipenuhi daging yang berantakan. Dan cipratan darah segar menodai dinding-dinding toilet.

Tubuhku benar-benar terasa bergetar dan tak bisa mengatakan apa-apa. Saat ku alihkan mataku kearah lantai toilet, tergeletak sebuah kepala berambut panjang bersama sebilah gergaji di sampingnya. Aku semakin berguncang hebat, entah apa yang aku fikirkan saat itu. Rasanya aku ingin berlari ke kamar penghuni lain untuk meminta bantuan. Tapi aku sama sekali tak bisa bergerak, piyamaku terjepit engsel pintu.

“Haaaaaaaaa…… tolong!!!!!” aku berteriak sekencang-kencangnya. Dengan tergesa-gesa kugigit piyamaku. Dan Seeeeeetttt, bagian belakang piyamaku berhasil robek. Aku berlari sekencang-kencangnya memburu pintu keluar kamar.

Creek….creeeek…..

“Arrggght….. kenapa gak bisa dibuka? Aku semakin panik.

Segera ku ambil posisi kuda-kuda dan... Bruuukkkk…… tendanganku merobohkan sebilah pintu yang terbuat dari kayu.

Nafasku terasa sesak mencium bau anyir darah yang menusuk ke paru-paru. Tapi aku semakin menggila dan ketakutan saat kulihat pemandangan aneh dari balik pintu kamarku.

“Ttttoilet???” tanyaku bingung. Ternyata toilet yang sama, hanya saja yang membedakan tinggal kepala yang tergeletak dilantai.

Kepala berambut panjang itu pelan-pelan menoleh dan menyeringai kepadaku.

“Hyaaaaa…..!"

***

Creeeekkkkk

Seseorang membuka pintu kamarku, dia mnyeringai hangat dan mendekatiku.

“Rupanya kamu demam ya May?” sahut Bu Alina sambil menempelkan punduk tangannya di keningku.

“Syukurlah ternyata cuma mimpi,” bisiku pelan.

The End

Cerpen Romantis: Mr. Ice Cream

Ini sudah mangkuk es krim kedua yang aku lahap malam itu, tak peduli aku sudah dua jam duduk di kedai ini. Pelayan tua kedai itu kadang sesekali memalingkan tatapannya dari Koran pagi harinya kearah ku. Mungkin dia pikir aku kurang waras, di cuaca sedingin ini dan sedang hujan deras diluar sana, ada gadis yang masih menikmati es krim sampai mangkuk kedua, tenang saja pak tua gumam ku dalam hati mungkin akan ada mangkuk yang ketiga, keempat, kelima dan seterusnya. Aku tak peduli.

Hap, sendok demi sendok aku nikmati, tatapanku hanya menatap kosong pada suatu titik sembarang di sudut kedai itu. kenangan demi kenangan aku putar di pelupuk mataku, seperti komedi putar yang sedang memutar scene demi scene. Membuat hati ini campur aduk dan sedikit sesak. Me-rewind semua rutinitas gila makan es krim ini dari mana asalnya, kalo bukan dari dirinya.

***

3 tahun yang lalu. Di kedai es krim yang sama

Wajahnya yang sedikit pucat dan tirus, rambut nya yang agak panjang, sedikit berantakan, dia tersenyum menatap ku penasaran, menunggu pendapatku tentang rasa es krim yang barusan aku cicipi.

“Gimana?” tatapnya penasaran, air mukanya mulai serius melihat ekspresiku yang mengerutkan dahi seperti ada yang salah dengan es krim yang kumakan.

“Tunggu!” jawabku sambil memutar mata seolah berfikir serius mendikripsikan Sesuatu yang sedang lumer dilidahku, lalu ku coba sesendok lagi, sok-sokan lagaku seperti tester sejati.

“Enaak !!” Seru ku.

Dia tersenyum kecil dan menjewer pipiku, protes melihat ekspresi ku yang menipu. Aku lantas mengerenyit sambil mengusap pipiku yang dijewernya.

Ya, Dialah Keylan. Key dan Aku pertama kali bertemu di laboratorium praktikum kimia dasar, Dia yang mengembalikan modul praktikumku yang tertinggal di laboratorium. Disitulah kami berkenalan, dia sebenarnya seniorku di kampus, usianya terpaut dua tahun lebih tua dari umurku.

Key mengambil cuti selama satu tahun di awal perkuliahan oleh sebab itu ia sering meminjam buku catatanku untuk mengejar ketinggalannya. Sebagai imbalan nya Key sering mentaktirku es krim. Berawal dari sebuah catatan dan secorong es krim di kantin kampus-lah pertemanan kami semakin akrab.

Key dan aku adalah sosok manusia yang mempunyai hobi yang bisa dibilang terbalik, Key adalah cowok dengan hobi membuat cake atau makanan manis. Sedangkan aku adalah cewek dengan hobi nonton sepak bola dan nonton serial kartun Kapten Tsubatsa. Terbalik bukan?

Mr. ice cream adalah panggilanku untuknya. Cowok berbadan kurus dan tinggi ini bisa di bilang addicted dengan es krim seperti sesuatu yang tak bisa di pisahkan. Karena hobi dan mimpinya ingin mempunyai usaha di bidang kuliner itu, Key mengambil Cooking Class khusus membuat pastry. Key termasuk golongan cowok yang cool dan tak banyak bicara, Terkadang Key tidak bisa ditebak serta penuh kejutan.

Sore itu, Key dengan sengaja menculikku dari kampus, Key mengajakku berkunjung ke kedai es krim yang konon katanya sudah ada sejak jaman kolonial belanda. dan aku percaya itu, karena bangunan kedai itu sudah tua, interior kedai itu pun terlihat seperti di museum–mesueum sejarah, seperti meja kasir dan pintu yang sedikit tinggi terbuat dari kayu oak yang berpelitur, mesin kasir nya pun antik dengan type model tua, disisi sebelah kiri kedai terdapat roti-roti yang masih hangat terpajang dalam etalase tua, Demikian juga alat penimbangan kue yang sudah tua, bahkan pelayan nya pun tak ada yang muda, semua tua.

Key bercerita sambil menerawang kearah langit-langit, kalo dia sering makan es krim disini ketika masih kecil bersama ibunya. Ia menceritakan kesukaannya terhadap tempat ini dan kegemaran nya makan es krim, alasan dirinya suka sekali makan es krim karena ibunya pernah mengatakan bahwa makanan yang manis itu bisa mengobati patah hati dan bad mood.

Aku hanya menatap wajahnya yang masih sedikit pucat dan mendengarkannya dengan setia karena antusias dengan apa yang ia lakukaan atau ia ceritakan.

“Semua orang hampir menyukai es krim bukan?” dia menatap ku lagi. Sialnya aku tertangkap mata karena menatapnya lamat-lamat, aku memalingkan wajah dan menyibukan diri dengan mengambil roti tanpa isi dan ku jejali roti itu dengan es krim tutti fruiti-ku.

“Termasuk kamu yang rakus, makan es krim sama roti” protes nya sambil tertawa kecil melihat kelakuanku melahap roti isi es krim.

“ini Enaaak, coba deh Key” sambil menyodorkan roti isi eskrim kepadanya sebagai upaya mengkamufalse salah tingkahku barusan. Key lantas mencoba mengunyahnya dengan lahap, lalu tersenyum lagi tanda setuju kalo itu kombinasi yang enak.

“yeee, enak kan, sekarang Key ketularan rakus” aku tertawa puas. Dan key menjewer pipiku lagi. Kami pun kembali tertawa riang.

Mungkin, para pengunjung di kedai itu, melihat Aku dan Key seolah pasangan kekasih romantis, yang sedang bersenda gurau. Tapi mereka salah besar. Kami tidak pacaran, tepatnya key punya pacar. Key berpacaran dengan Amerina. Mengenai Key dan Amerina aku tak tahu banyak karena Key jarang sekali bercerita tentang hubungan mereka, setahuku mereka menjalin pertemanan semenjak mereka duduk di bangku SMA, lalu mereka saling menyukai dan berpacaran, Amerina adalah gadis cantik, anggun, smart dan terlihat kalem, menurutku Amerina seperti Key versi cewek. Hanya itu yang ku tahu.

“Pulang yuk ran, nanti ketinggalan jadwal nonton Tsubatsa ” ajak Key kepadaku sekaligus mengingatkan.

“Iya, hampir lupa..ayook” jawabku sambil beranjak dari kursi. Mengikuti punggung Key yang sudah berjalan terlebih dahulu meninggalkan kedai itu.
***

2 Tahun yang lalu. Di kedai es krim yang sama.

Key tersenyum simpul penuh arti dan terlihat lebih menarik dengan kemeja abu-abu bermotif kotak-kotaknya kali ini rambutnya terikat rapih.

“Ta daaaa, Happy Birth Day” Key menyodorkan sesuatu. Aku diam terpaku tak menyangka. Sebuah surprise !!

Malam itu di hari ke lima belas di bulan September, Key membuatkanku kue ulang tahun dengan motif bola dengan dominasi warna biru dan putih, seperti warna club kesukaanku, Chelsea. Lengkap dengan tulisan “Happy Birth Day Rana” diatas kepingan cokelat putih yang membuat kue itu semakin cantik dan tak lupa lilin dengan angka kembar dua-puluh-dua.

“Jangan lupa berdoa dan make wish ya” Key tersenyum Simpul lagi.

Aku meniup lilin angka kembar itu, dan memejamkan mata dalam dua detik membuat permohonan. Kami merayakannya hanya berdua saja. Menikmati kue tart buatan Key dan es Krim tentunya.

“Rio, belum telepon juga?” Key bertanya singkat.

Rio? Kenapa Key nanya Rio lagi sih?. Aku hanya menggeleng. Singkat cerita, Rio adalah pacarku. tepatnya seminggu yang lalu, jadi sekarang dia sudah menyandang gelar mantan pacar. Rio dan Aku bertahan pacaran hanya lima bulan saja. Kami menjalani hubungan LDR alias Long Damn Realtionship, atau pacaran jarak jauh, Akhir-akhir ini komunikasi kami mulai terasa tidak lancar. Ditambah Rio yang tidak pernah suka dengan hobiku yang menyukai sepak bola. Terkadang itu menjadi bahan pertengkararan kami. Pada akhirnya kami memutuskan hubungan secara baik-baik. Tak ada yang harus di pertahankan.

“Sudah, jangan sedih. Mungkin dia sibuk” ujarnya seraya menghiburku.

Puh, tak ada telepon pun tak masalah bagiku, lalu ku hanya diam dan menikmati es krim dan kuenya lagi.

“yang penting…” Ujar Key. Hening sejenak. Aku menunggu Key melanjutkan kalimatnya. “ Ayah dan Adik, sudah telepon” lanjutnya sambil tersenyum.

Aku mendongak, menatapnya lekat-lekat lalu membalas senyumannya “Tentu saja, itu yang penting” timpalku kepadanya. Kamu juga penting Key.

Key selalu peduli dan selalu mencoba menghiburku. Seorang teman yang selalu ada untukku, diberikan surprise seperti ini adalah pertama kali dalam hidupku, ada orang lain di luar anggota keluargaku yang membuat perayaan spesial seperti ini khusus untukku hanya seorang teman seperti Key yang melakukannya. Teman? Lalu bagaimana dengan Amerina? Apakah dia melakukan hal yang sama kepadanya?

Pertanyaan-pertanyaan ini tiba-tiba muncul di kepalaku, Mengapa aku ingin tahu detail bagaimana Key memperlakukan Amerina? Bukan kah sebelumnya aku tak pernah peduli?

“Barusan make a wish apa?” Pertanyaan Key membangunkan ku dari lamunan akibat pertanyaan–pertayaan aneh yang bermunculan dari kepalaku.

“Rahasia” Aku menjawab spontan. Lalu memasang muka jahil.

“Pelit” Key pura-pura ngambek.

“Anyway Key, thank a lot, you’re my best” Aku tersenyum. aku bahagia malam ini.

“Any time, Ran” balas Key. Tersenyum simpul.

Malam itu diumur ku yang bertambah, Aku menyadari seorang duduk dihadapanku seperti sebuah es krim yang dalam diamnya terlihat cool, dalam senyumnya terasa manis, dan dalam katanya terdengar lembut. Dia yang membuatku menyadari sesuatu itu ada, tetapi sesuatu yang tak bisa aku jelaskan, tak bisa aku hitung dengan rumus matematika, dan tak bisa aku urai seperti senyawa kimia, dan sesuatu itu tidak hanya ada, tetapi hidup dan berdetak, dan kadang membuat dada ini sesak.
***

Segerombolan awan hitam, tak hentinya menumpahkan air kebumi, menadakan besarnya kerinduan langit pada bumi. Debu-debu yang menempel di jalanan dan gedung tua pun ikut terhanyut olehnya, membuahkan aroma tanah yang menyaingi aroma roti yang baru keluar dari pemanggangan sore itu. Kedai itu tak berubah sedikitpun, semua interiornya tetap tua di makan usia.

Dua jam yang lalu, aku dan Key duduk bersama di kedai ini, wajahnya sudah tak sepucat dan setirus dulu, rambut nya pun tak seberantakan dan sepanjang satu tahun yang lalu, Key terlihat baik-baik saja bukan?, Namun tak ada sedikit pun senyum didalam air muka Key, Dia bersikap dingin, sedingin es krim di mangkuk dan cuaca di luar sana.

“Kenapa gak ada kabar ran?” Key menatapku serius. Nada suaranya dingin.

Aku tak sanggup memandang key, hanya tertunduk dan diam, lidah ini kelu untuk berucap memberi alasan yang sebenarnya.

“Aku sibuk Key” Aku berbohong. “Maaf Key, aku memang keterlaluan” ucapku sekali lagi. Menahan air mata yang nyaris keluar.

Setelah mendengar kata maaf itu Key langsung mehenyakan punggungnya kesandaran kursi, seperti tak percaya hanya mendengar kata maaf dari seorang sahabat yang hanya pamitan lewat sms dan setahun kemudian tak ada kabar sedikitpun seperti menghilang di telan bumi. Aku tahu Key pasti marah hebat kepadaku, tapi semenjak perasaan ini makin menguasai, persahabatanku dengan Key terasa bias, tepatnya hanya aku yang merasa bias, aku tak kuasa lagi mempertahankan kepura-puraanku di depan Key yang selalu bersikap baik kepadaku. Karena dengan sikap Key yang seperti itu, mahluk yang bernama perasaan ini seperti di beri pupuk, dan akan terus tumbuh, walau aku susah payah memangkas nya tapi ini akan terus tumbuh tak terkendali dan akan terus membuatku merasa bahagia dan sakit dalam waktu yang bersamaan. Maka ketika kesempatan bekerja di luar kota itu datang aku tak menyiakan nya.

“Tapi kau baik-baik saja kan?” Ucap nya tenang.

Aku mendongak, menatapnya lekat-lekat. Air mataku hampir jatuh. Aku tak boleh menangis di depan nya, ini hanya akan membuatnya semakin cemas. Mulutku kembali terbuka, namun tak bersuara, lalu aku mengangguk. Kembali menunduk. aku tahu perasaan Key sekarang campur aduk antara marah dan cemas namun Key selalu baik dan memaafkanku yang bertindak bodoh.

“Lalu bagaimana denganmu Key?” ucapku terbata.

Key tak menjawab, dia mentapku lekat-lekat, mungkin sikapku terlihat aneh dan membingungkan bagi Key sehingga membuat penasaran, terlihat dari raut wajahnya sepertinya ia ingin menumpahkan beribu-ribu pertanyaan atas sikapku ini. Namun Key menyerah, dia menghenyakan kembali punggungnya kesandaran kursi. Sedikit demi sedikit suasana diantara kami pun mencair, seperti es krim di mangkuk ini pun mencair.
***

Layaknya langit, aku pun sama, duduk berjam-jam disini sedang menumpahkan kerinduan pada kedai ini, kerinduan pada Es krim, kerinduan pada Key. Scene potongan kejadian di pelupuk mataku sudah habis kuputar, kini aku mengembalikan fokus pandanganku tertuju ke suatu benda di atas meja, benda yg sedikit tebal dari kertas, berwarna merah, pemberian Key dua jam yang lalu.

Entahlah sudah berapuluh kali aku membolak balik benda itu, dan entahlah lah sudah berapa kali hati ini merasa terbolak balik karena melihat isinya. Sebagai teman ini adalah kabar baik untukku, namun sebagai orang yang sedang tertimpa perasaan aneh ini adalah kabar buruk bagiku. Lalu dimana aku harus menempatkan diriku sendiri?

Butuh setahun aku men-sinkronisasi-kan antara hati dan logika ini untuk mendapatkan jawabnya, di mangkuk es krim yang ketiga ini aku baru dapat pemahamanya, bahwa tak pernah ada yang berubah dari sikap Key kepadaku, dia selalu ada untukku, melindungiku, menyangiku sebagai sahabatnya. Aku-lah yang terlalu egois, tak mau ambil tindakan serta resiko untuk menyatakan nya dan malah pergi menghilang darinya yang hanya membuat Key terluka.

Hujan sudah reda diluar sana, nampaknya langit sudah puas menyatakan kerinduanya pada bumi, aku lantas beranjak dari kursi kedai itu, menuju meja kasir yang tinggi, pelayan tua itu menatapku lalu tersenyum megucapkan terimakasih, aku hanya membalas senyum sekedarnya. Perasaanku masih campur aduk dan terasa sesak.

Aku melangkah gontai keluar kedai, berjalan menuju Statsiun hendak meninggalkan kota ini, dan aku berjanji, minggu depan aku kan datang lagi ke kota ini, menjadi saksi ucapan janji abadi sehidup semati antara Key dan Amerina. aku akan hadapi semuanya, lari dari kenyataan adalah tidakan bodoh, bahwasanya sejauh apapun kita pergi, tak akan pernah membantu melupakan orang yang kita sayangi, yang membantu hanyalah sikap menerima kenyataan.

Biarlah aku menelan semua pahit dan sakit nya perasaan ini Key, dan waktu yang akan mencernanya. Karena aku tahu, Rasa sakit ini hanya bersifat sementara, Karena secorong es krim akan menjadi obatnya, bukan?
-The End-

Cerpen Cinta: Kau yang Merubah Hatiku

Awal dari sebuah rasa manis akan tetap manis jika kita pintar megolah rasa manis itu agar tetap manis. Cerita itu berawal pada sebuah hubungan antara cewek manis yang sering disapa Indi dengan cowok yang sering dipanggil Ihsan. Hubungan mereka yang telah berjalan hampir 9 bulan ini berawal mulus dan penuh dengan bahagia.
Rasa pahit ini dimulai saat hari-hari sebelum ulang tahun aku diakhir bulan awal tahun ini. Sebuah perubahan terjadi pada Ihsan. Waktu yang tak pernah ada untukku membuatku sudah kehabisan kesabaran untuk selalu ngertiin Leo yang sibuk berkerja,hingga hari liburpun ia tetap bekerja. Hingga 2 minggu sebelum ulang tahunku,aku mengirim sebuah pesan panjang kepada Ihsan.
To : (085643xxx890) Ihsan sayang
Aku tak tau knp km berubah. Km lupa dgn semua janji hubungn kita. Aku rasa ini puncak dari sebuah rsa sabarku. Aku ingin kita udahan aja,jalan ini mgkn yg terbaik. Maaf utk smua dan maksh untuk hari2 lalu. Aku bukn berhnti mencintai tpi aku ingin berhnti menyakiti hati.
Dengan rasa berat hati dan meneteskan air mata,aku mengirim pesan itu ke dia. Namun seperti yang sudah aku duga,tak ada tanggapan dari Ihsan hingga satu minggu sebelum ulang tahun.
Hari-hariku sangat berat saat ia sedang menghadapi ujian yang sedang berlangsung di kampusnya aku juga harus menghadapi masalah dengan Ihsan
Saat aku berkeluh kesah dengan sahabat akrabnya yang suka dpanggil “Sipit” namun ia juga tak memberi respon bahkan saat aku memulai cerita,
“pit,aku sebel deh ama Ihsan,aku dicuekin,sampe aku ngomong putus aja gak direspon,pokonya akau penegen putus dari Ihsan ………….”
Belum selesai aku bercerita sipit langsung jawab dengan pernyataan juteknya dan muka jelek, “udah ah mb Indi,aku mau pulang,capek aku”,sambil dia meanarikku untuk pulang. Dengan rasa sedih aku menganggukkan untuk mengiyakan agar sipit pulang.
Aku berjalan menuju tempat parkir motor sambil memikirkan,kenapa dengan Sipit. Otakku ini penuh banget,Sipit jadi berubah, Ihsan juga gak kalah berubah,ditambah ujian yang bakal dihadapi. Dalam hatiku cuma berucap “ ujian hidup dan ujian kampus kok berat banget”. Aku mencoba menghubungi Pit berulang kali namun jawaban dari operator selalu sama “nomor yang anda tuju sedang sibuk”. Aku mencoba sms Sipit..
To : (085678901xxx) Sipit
Pit,kok sekarang kmu berubah,saat ini kau butuh kamu pit 
Sambil menunggu balasan dari Sipit aku berpikir apa Sipit juga punya masalah jadinya gak mau dicurhatin. Tak berapa lama ada pesan masuk dihandphoneku,dalam hati inginnya leo yang sms aku. Tap aku yakin pasti Sipit yang balas.
Jreng,,dengan terkejut …
Dari : (085643xxx890) Ihsan sayang
Sayang aku lagi sibuk buat beberapa minggu ini.
Setelah baca ini ada rasa lega tersendiri ternyata dia sibuk tapi makan hati juga kalau gini terus. Lalu tak berapa lama sipit menyusul membalas sms dariku.
Dari : (085678901xxx) Sipit
Mb Ndi,sorry aku lagi irit pulsa,gak bisa balas smsmu.
Dengan rasa yang udah bercampur dihati sms mereka takku balas,dan membuang handphoneku dari hadapanku. Jam dinding di kamarku yang udah nunjukkin pukul 23.00 WIB tapi mata susah banget dipejamin. Udah beberapa hari ini aku tidur diatas jam 01.00 WIB. Tapi aku berusaha memejamkan mata namun handphone berdering,sebuah lagu menjadi lagu tanda panggilan masuk. Aku tak ingin melihat siapa yang menelpon malam gini,tapi telepon itu tidak berhenti berdering.
Ku coba melirik handphone dan melihat sebuah nama yang taka sing,karena ternyata yang telepon itu adalah Ihsan. Dengan segera aku menganggat telepon.
“Assalammualaikum, Ndi”. Sebuah salam yang terdengar dari seberang namun kali ini Ihsan berubah karena memanggilku Indi.
“Walikumsalam,gimana ada apa?” dengan gaya biasa karena tetep aku jaga gengsi. Hehehe..
“kok belum tidur,Ndi”,dengan nada datar dan tanpa dosa.
“belum aja,belum ngantuk. Kamu sendiri kenapa belum tidur juga?”
“Kok panggilnya ‘kamu’ ?”. Ihsan ini paling gak suka kalau dipanggil ‘kamu’ walaupun lagi marahan.
Aku juga Cuma jawab singkat,”kamu ja panggil aku Ndi”.
Malam ini begitu dingin,sekalinya telepon seperti ini. Lama sekali kami terdiam,entah apa yang dipikirkan oleh Ihsan saat ini.
“Em,tidur yuk,udah malam,nanti sakit.” sebuah ucapan manis dari Ihsan ini lumayan menyejukkan hati kalau dia masih perhatian denganku.
Aku dengan sedikit menghilangkan gengsi,”ya udah tidur,besok kan kamu kerja juga”
“ya udah,met malam ya”. Tuttt.. Tuttt..Tutttt …
Tiba-tiba telepon itu terputus,aku belum sempat membalas ucapannya. Bahkan ucapan yang sering dilakukkan pun tiba-tiba hilang.
Aku tetap tidak bisa tidur,aku berpikir terus “apa yang kamu mau sih Ihsan,putus gak dikasih jawaban,tapi masih perhatian”. Dengan gemasnya boneka beruang yang pernah ia berikanpun jadi sasaran kemarahanku. Aku coba mengajak bicara boneka itu,
“apa sih mau mu Ihsan?”
“aku ini masih pacaramu bukan?”
“aku bingung ma kamu”. Sambil kupukul-pukul boneka itu,”jawab dong,diem aja kamu”.
Tiba-tiba air mata ini menetes perlahan dan dengan rasa sayang aku memeluk boneka.
Dengan lirih aku berucap, “Ihsan aku sayang ama kamu,tapi kamu bikin aku nagis terus.”
Pelukanku keboneka menemaniku hingga aku terbangun dari tidurku. Pagi cerah ini dengan mata agak sedikit sembab mencoba untuk bersemangat ke kampus. Hari ini bakal jadi jadwal yang paling bosen,kuliah dan rapat organisasi hingga sore. Tapi aku berpikir ini mungkin cara menghilangkan rasa sedihku.
Seperti biasa aku janjian dengan Sipit di kampus karena beberapa mata kuliah kami sama jadi kadang kami sekelas. Kami mendapat julukan “emak dan anak” karena tiap Sipit dating duluan yang ditanyain aku begitu juga sebaliknya.
Dari belakang mencoba mengagetkan Sipit,“dor…Pit,,,”
“yeee…mb Indi,kagetin aja. Gak sedih lagi ni?”
“udah enggak dong,kan males mikir orang yang gak mikir aku”
“kenapa Ndi mata kamu,dicium nyamuk apa semut cowok ni.hahahaha”. Dengan gaya khas ketawa sambil matany merem sipit mengejekku.
“apaan sih kamu,Pit.. Ini mata sembab karena aku pompa,niatnya matanya biar belok dan gak Sipit kayak kamu”. Sambil aku membuka mata dengan jariku dan berlari karena aku ngejek Sipit.
Seketika itu pikiranku tentang Ihsan hilang, ya walaupun Sipit gak dengerin ceritaku, setidaknya bisa bikin ketawa aku. Karena kami punya semboyan “Kita gak sedih lagi,gak nangis lagi”. Itu Cuma kalimat dari lirik lagu Smash tapi bisa bikin seneng.
Hari-hari berikutnya terasa cepat sekali,sampai gak inget kalau besok udah hari ulang tahunku. Dan beberapa hari ini gak nyangka nama Ihsan hilang di pikiranku,kita sama-sama gak saling smsan atau telepon.
Hari yang ditunggu namun bikin kecewa,semalaman aku tak tidur berharap Ihsan bakal jadi orang pertama yang mengucapkan ulang tahun ini. Tapi aku gak begitu peduliin itu,karena banyak sahabat,keluarga yang memberiku ucapan dan lebih special.
Lebih malasnya lagi hari ini masuk kuliah,sesampainya disana. Sebuah kejutan kecil dari temen-temen.
“happy bday to u,,,happy bday to u,,happy bday,happy bday,happy bday Indi…..”
Sebuah donat kecil dan lilin diatasnya dibawa oleh Sipit untukku.
“Tiup lilinya mb Ind,tapi,,,make a wish dulu ya…”
Ku memejamkan mata dengan sebuah doa,dan saat ku buka mata ini ku meniup lilin. Donat kecil itu ku potong kecil-kecil agar semua temen ikut menikmati,walaupun dikit. Suapan pertama untuk sipit sambil cipika cipiki.
“Happy bday mb Indi”
“makasih sayangku”
Dan hari ini waktu itu cepat sekali,kejutan dan ucapan tak henti-hentinya datang. Namun tak satu smspun dari Ihsan untuk mengucapkan ulang tahun. Sekalinya aku lihat jam udah jam 17.00 WIB. Dan saatnya pulang kerumah dengan rasa penuh kebahagiaan. Aku jadi mengerti arti sebuah persahabatan.
“balik yuk,Pittttt,udah capek ni seharian dan aku juga udah bosan kalau ketemu kamu terus.heheheh..” sambil gemes ama pipinya yang chubby banget.
Dengan jengekelnya Sipit menarik tanganku,”sakit tauuu…hehehehe. Serius ni bosan ma aku?hehehe”.
“iya,untung aja kuliah itu gak 24 jam,coba 24 jam bisa mati konyol ketawa ma kamu terus.”
“Agh,nyebelin mb Indi ni,”dengan muka manyunnya.
“Tapi kalau ketawa sambil merem dan gak boleh manyun ntar tak tinggal pulang lho”
“jangan,,nebeng sampe depan ya”,dengan muka melas dia dan senyum Sipitnya.
Dengan sikap hormat,aku menjawab “siap laksanakan boss..sipitnya mana sipitnya”,aku mencoba masih menggodanya.
Aku dan sipit menuju parkir kampus untuk mengambil motor . Saat menuju motorku aku heran kok ada sebuah kantong plastik yang tergantung dimotorku.
“Pit,tu ada plastik punya sapa ya?”
“Ya punya mb Indi dong,kan dimotor mb Indi”
“Tapi aku tadi gak bawa apa-apa,jangan-jangan…………..”
“jangan-jangan apa mb Indi?”
“jangan-jangan Bom Pit,kaburrrrrr…………”,aku langsung berlari berniat ngerjain sipit yang kaget. Sipit juga ikut lari dan berterika,”Mb Indi tunggu”, dengan nada manja anak kecil.
“mb Indi,liat aja yuk”
Kami mencoba kembali ke motor kami dan melihat isi kantong yang ada di motorku itu.
Jrenggg……jrenggg… coba tebak apa isinya…
“Agh,flasdisk??”,aku dan sipit mengatakan hal yang sama.
“tau gitu aku nitip kamu aja biar,masak ngomong aja kita barengan”
“gak apa-apa mb Indi,kita itu emang ditakdirin bersama-sama”
“udah-udah,,kamu ntar GR malah berabe.” Sambil ku lihat kantong itu barang kali ada yang lain,“maksudnya apa ya Pit ini?”
“gak tahu,coba dicari ada tulisan dari pengirim gak”
“Ini ada tulisan pit”,aku membaca sebuah memo kecil dari sang pengirim.
‘Indi,ini flas ada sesuatunya, dilihat pas pukul 20.20. gak boleh dilanggar’
Dari : pengirim flasdisk
“mb In,jangan-jangan dalemnya ada Syahrininya,tu ada sesuatu”
“Hahahaha,,,kamu itu aneh-aneh aja,mana muat Syahrini masuk flasdisk”
Aku masih bingung dengan ini,maksud dan isi dari flas ini apa. Kulihat sipit mebolak balik kantong itu.
“Kenapa pit,kok dibolak balik?”,anak satu ini aneh banget.
“ya ini kantong nyebelin mb In,gede kantongnya isinya Cuma flas. Gak ada makanan atau apa gitu”
Sambil gemesin pipinya,”kamu itu,makan mulu….udah kita pulang. Jadi gak sabar pengen liat isinya apa”
Setelah sepanjang jalan memikirkan isi flas,tak terlintas akan pikiran tentang Ihsan. Seakan beberapa hari ini aku dibuat amnesia tentang Ihsan. Aku juga tak mengenali tulisan tangan dari si pengirim. Sebuah tanda tanya besar dipikiran ini belum terjawab.
Malam sudah mulai larut,berulang mata ini melirik jam dinding namun seakan jam itu berputar sangat lambat. Sudah tek terhitung berapa kali mata ini melirik untuk menunggu pukul 20.20. rasanya tunggu sesuatu yang bikin penasaran itu sangat menyebalkan. Setelah menunggu beberapa saat sms masuk ke Hpku.
Dari : (085678901xxx) Sipit
Isinya apa mb Ind?
Aku segera mereplay sms sipit.
To : (085678901xxx) Sipit
Gak tau juga,ntar lagi aku buka.
Waktu yang ditunggu sudah datang,seperti anak yang mendapatkan hadiah aku sangat begitu antusias untuk mengetahui isi flas itu apa. Langsung ku buka dilaptopku dan hanya ada sebuah file yang berformat video. Bergegas aku membuka video tersebut.
Sebuah video ucapan selamat ulang tahun dari Ihsan. Disitu Ihsan menyanyikan lagu milik Ipang yang berjudul “Akhirnya Jatuh Cinta”,” Tak Ada gantinya”, “Tanpamu” yang merupakan lagu favorit kita. Didalam video Ihsan sambil bermain gitar menyanyikan lagu itu. Diakhir video itu Ihsan mengatakan sesuatu yang sangat menyentuh.
“aku sekarang tau siapa yang harus aku perjuangkan,ternyata kau harus memeprjuangkan kamu,bila cintaku dan cintamu bersatu aku yakin cinta ini kekal dan abadi utnuk selamanya karena kamu semangat hidupku”
Diakhir kata-kata dari Ihsan membuat aku menagis terharu dan senyum bahagia.
Beberapa saat kemudian ada yang mengetuk pintu rumah,sambil aku menghapus air mata ini aku beranjak untuk membukakan pintu.
Saat kubuka pintu,sebuah kejutan yang termanis yang aku terima.
“Happy bday to u… Happy bday to u…..”
Aku terkejut karena Ihsan datang bersama SIpit dan SIput. Biar jelas,siput ini adalah cowok Sipit,kita panggil Siput karena dia super karet dan lama kalau ada janjian jalan-jalan. Kalau janjian pergi bareng jam 08.00,dia bisa baru datang jam 10.00 karena kelamaan mandi.
Aku lanjutin ceritanya, Ihsan dengan membawa kue ulang tahun menyanyikan lagu ulang tahun bersama Sipit dan Siput. Dengan segera aku memeluk Ihsan dan memukul Ihsan karena aku sebel dan aku bahagia. Ihsan juga membalas pelukku sambil membisikan “happy bday sayangku,”
“makasih sayangku”, Ihsan juga mencium keningku.Dan aku kembali memeluknya.
“Eehmmmmmmm….”,sipit ma siput mengagetkan kami.
“Halooo…lilinya mau cair ni,mau ditiup gak ni?”,sipit langsung aja nerocos.
“Iya dong,kan kueku,hahhahaa… tapi masuk dulu yuk,,”
Setelah beberapa saat aku mentiup lilin ulang tahunku dengan sebuah doa dan ucapan terima kasih pada Allah karena udah ngembaliin Ihsan lagi. Untuk beberapa saat aku sedikit manyun ama Ihsan.
“sayang itu nyebelin tau,cuekin aku”
“jangan salahin aku aja,tu sipit ma siput juga. Mereka juga ikut andil dalam urusan ini”. Dengan segera aku menghampiri sipit m siput dan mencubit mereka.
“dasar kalian berdua,sengkongkol ya”. Dengan muka tak berdosa mereka hanya tertawa.
Dengan rasa kagen yang udah beberapa minggu gak manja-manjaan ma Ihsan. Aku mencubit karena aku masih sebel dikerjain.
“aduh sayang,ampun,,,”,diraihnya aku dan dipeluk sama Ihsan.
“maaf ya sayang buat kemarin-kemarin. Tapi aku gitu karena kau sayang. Love you sayang”
Dengan nada manja aku menjawab,”iya sayang. Love you too sayangku”
Untuk kedua kalinya,kami diganggu oleh sipit ma siput. “Hello,disini ada kami” siput bersuara untuk kali ini.
“ayo mb Ind,dipotong kuenya,masak mau diliat aja”
“dasar tukang makan,iya,iya,,tak potong ya”
Dan lebih nyebelin lagi,kuenya ditulisin ‘happy bday Indi. Semoga cepat gemuk’. Mereka itu ada –ada aja. Selanjutnya aku memotong kue.
Untuk potongan pertama aku memberikan kepada Ihsan. Dan sebuah kecupan manis dikening untukku dari Ihsan.
Untuk potongan selanjutnya sipit dan siput. Kami bercanda sambil menikmati kue ulang tahun.
“kok bisa kalian kerja sama,aku kasih tahu ceritanya dong”
Secara bersama-sama mereka tertawa,karena sudah berhasil mengerjain aku.
Cerita awal dimulai dari Ihsan, Ihsan mengajak siput dan sipit untuk ngerjain aku. Dan semua skenario sudah dirancang. Sipit selalu memberi informasi pada Ihsan tentang aku.
“sayang waktu malam itu aku telepon karena denger dari sipit kamu sedih banget. Aku gak tega jadi aku telepon”
“aghh,,nyebeliin sayang tu”
“hahahahaaaaaaaaa….” Mereka menertawakan kebodohanku.
“terus yang kasih flas dimotorku?kan syang kerja,sipit ma aku terus,mesti siput ya”,sambil tunjuk Siput.
Dengan senyumnya siput mengakui,”iya aku yang kasih flas kemotormu dan itu tulisanku. Kan kamu belum pernah liat tulisanku”
“aghh,,dasar siput,kamu itu”
Dan semua kembali tertawa karena melihat kebodohanku. Aku Cuma cemberut dan ikut ketawa.
Ternyata kejutan dari Ihsan belum berakhir.
“tutup mata sayang,gak boleh ngintip lho..”
“ada apa to?”
“ya udah tutup mata dulu,nanti kan tau. Tapi berdiri dong”
Aku mencoba menuruti semua kemauan dia dan aku penasaran apa yang akan diberikannya,karena flas dan kue sudah menjadi kejutan yang teka terlupakan.
“udah belum sih,lama banget”,dengan sebel karena gak sabar pengen tahu.
“ok,sekarang dibuka perlahan ya…”
Sedetik kemudian aku membuka mata,sebuah kejutan yang manis. Ihsan memberikanku sebuah cincin dan ia sambil berkata “mau kah kau berjanji untuk selalu menjaga dan mempertahankan hubungan kita dalam keadaan apapun?”.
Dia bertanya seperti itu karena kalau diajak nikah aku gak mau jadi gak mungkin kalimatanya “will you married me?” bakal langsung aku tolak,
Dengan rasa yang bahagia dan tak mampu berucap,aku hanya menganggukan kepala sebagai isyarat aku mau. Dan Ihsan pun memakaikan cincin itu dijari manisku. Dan sebaliknya aku. Setelah cincin ini tersemat di jari kami, Ihsan memelukku dan mengatakan sesuatu padaku,
“aku janji akan menjagamu.”
Dengan rasa yang tak bisa ku ungkapkan aku menjawab dari ucapan dengan,”aku juga berjanji hati ini untukmu”
Dan sipit mengagetkanku dengan ucapannya untuk siput,”sayang aku juga mau kayak gini”
“hahahahhahah,,,”,kami semua tertawa dengan ucapan sipit.
Malam kian larut dan tak terasa jam udah nunjukkin pukul 23.00. semua pamit untuk pulang. Namun aku sedih karena Ihsan juga pulang,aku masih pengen sama dia. Rasa kangenku sama dia belum terobati. Namun waktu yang bicara.Mereka akhirnya kembali kehabitat msing-masing(maksudku ke rumah masing-masing.)
“mb Ind,kita pulang dulu ya”,sipit dan siput bersalaman denganku untuk pamit.
“ok,,makasih ya buat kalian berdua”
“sayang,aku pulang dulu ya,langsung bobo ja,udah malem,”
“iya sayang,syang juga langsung bobo. Hati-hati ya,,”
“iya sayang,love you sayang”,kecupan kening untukku.
“love you sayang”
“udah mb Ind,ntar gak selesai-selesai kalau cium peluk mulu,” sipit ngiri ni,hehehe
“ya biarain,ni kan pacaraku,masak aku mau cium siput,boleh po?hahaha” aku menggoda sipit.
“ya gak boleh kok”
“sayang awas aja ya,” aku langsung dapet peringatan dari Leo dan Sipit.ahaahahah
Dan mereka pulang kerumah masing-masing. Malam ini bahagia yang tak terkira. Dan gak mungkin aku lupakan. Aku beruntung memiliki teman dan Ihsan yang menyayangiku.
Aku juga lebih bisa memaknai arti sebuah persahabatan dan kasih sayang.Dan aku berharap harapan yang aku inginkan terkabul,sebuah harapan yang tak akan ku ucapkan jika belum terjadi.
Di hari berikutnya kami kembali seperti biasa, Ihsan kembali normal. Hari terasa cepat hingga tak terasa sudah masuk bulan Mei. Dan yang paling aku senang karena 27 Mei adalah satu tahun kami berpacaran,aku ingin membuat suatu perayaan kecil dengan kejutan kecil dariku. Saat sebuah rencana manis aku susun rapi dengan penuh cinta. Sebuah kabar buruk yang menghancurkan sebuah rencana itu datang.
Saat beberapa hari sebelum hari itu saat dia datang kerumah sudah larut malam dan gak biasanya dia datang selarut ini.
“duduk dulu sayang,mau minum pa?”,aku mempersilakan dia duduk.
“makasih sayang,gak usah minum. Aku Cuma pingin malam ini ama sayang”,dengan senyum dia mengatakan itu.
Tersontak aku kaget dengan ucapannya.”Maksudnya apa?”
“gini,aku besok bakal berangkat berlayar ke India untuk waktu yang cukup lama”. Dia menghela nafas setelah mengahkiri ucapannya.
Aku hanya bisa diam saat mendengar itu semua. Aku tak dapat mengatakan apa-apa. Aku tak suka ini semua.
“sayangg…..”. dia membuyarkan lamunanku.”kamu gak apa-apa kan??”
“eh,,em,,sayng serius?sayng ini Cuma bercanda kan?”. Aku mencoba mencari jawaban kalau ini semua Cuma kebohongan dia. Karena dia sering sekali mengatakan itu.
“kali ini benar”,sambil dia mengeluarakan surat-surat sebagai tanda kalau kali ini dia tak berbohoong.
Aku memintanya danku teliti satu demi satu saurat-surat itu. Dan benar sebuah nama negara sebagai tujuan berlayar atas nama dia. Aku menaruh kembali surat itu dan bertanya,”berapa lama berlayar?” dalam hati ku pasti wkatu yang lama karena line/tujuannya jauh.
“2 tahun sayang aku akan pergi”
Aku tak tahu harus bagaimana lagi saat dia menjawab 2 tahun. Aku hanya terdiam,dia pun ikut terdiam karena dia tahu pasti aku gak bisa terima ini semua.
“sayang bohong kan?sayang boong ya?”,aku masih mencoba tak percaya. Namun saat tangan ini digenggamnya untuk mencoba meyakinkanku.
“sayng,aku bener besok bakal berlayar. Aku tau sayang bakal kesepian banget. Apalagi di sana nanti aku juga gak dapet sinyal. 2 tahun itu aku sebulannya hanya mendarat 2 hari sayang.”
Aku benar-benar terdiam tanpa sebuah sedikitpun ucapan yang aku keluarkan dari bibir ini. Aku membayangkan rencana kecilku di hari jadian kita hancur. Tangannya tetap menggenggamku untuk menguatkanku.
Sedetik kemudian air mata membasahi pipiku. Sebuah sentuhan manis darinya untuk menghapus air mata ini makin membuat aku menangis. Dan selanjutnya sebuah pelukan manis darinya. Aku menangis di dadanya dengan sebuah pelukan dan belaian dia dengan diciumnya keningku olehnya. Mungkin ini pelukan terakhirnya.
“sudah sayang,jangan gini. Nanti aku nangis juga,jelek kalau nangis. Cantiknya mana..”. dia masih mencoba menghiburku dan menggodaku.
Dengan perlahan aku lepas pelukan ini darinya.” Sayang,aku sayang banget ama kamu. Aku gak pengen jauh dari kamu. Tapi ini untuk masa depan,aku harus dukung kamu. Aku akan tunggu kamu di sini. Aku ingin kamu janji,2 tahun lagi kamu datang kerumahku”
“aku janji sayang.” Dia kembali memelukku sambil berucap,”awas aja kalau sayang punya pacar lagi,hehehe”
“agh,paling syang juga di sana”,mencoba gak mau kalah aku.
“aku aja bakal di air terus. Di kapal juga cowok semua. Ada juga ibu-ibu. Lagipula aku kan punya sayang yang bakal selalu ada”
“gombal sayang ki”
“biarin,yang penting gak gembel..hehehhe”
Kami kembali tertawa dan menikmati hari perpisahan ini hingga tengah malam.
“besok anterin aku ya,mau kan?”
“ok deh sayang,”
“tapi gak boleh cengeng ya”
“ya biarain kok,,masak pacar bakal pergi jauh gak boleh nangis”
Perlahan dia berdiri dari kursinya dan meraih tanganku kembali,”sayang janji ya gak macem-macem kalau aku tinggal. Inget cincin ini jadi saksi hubungan kita”
“Aku janji sayang”. Sambil ku tersenyum walaupun aku sedih.
“sayng aku pulang dulu ya,udah malam. Sayng bobo ya…”
“huem sayang,hati-hati ya”
“sampa ketemu besok ya sayang”
“ok sayang”. Dengan berat aku harus melepasnya pulang dan besok hari terakhirku bertemu dengannya.
Air mata ini memang tak bisa membohongi kesedihan hati ini. Perlahan menentes kembali. Aku jadi makin sedih,saat ahri-hari esok air mata ini menetes kembali siapa yang akan mengusapnya.
Semoga waktu 2tahun itu akan berjalan cepat dan hari-hariku tak berubah karena aku akan tetap menjaga hati ini untuknya. Untuk orang yang telah menyayangiku setulus hati.
Sebuah lagu yang menjadi kenangan manis untuk kami adalah “Ipang-akhirnya jatuh cinta”.
Semua terjadi tak ku sadari tak terpikir apalgi mimpi.Tapi ternyata kini ku tak lagi berdaya.Kau memang beda dari yang pernah ku rasakan.Hanya kau yang bisa merubah hatiku tk mungkin ada lagi yang mampu membuatku seperti ini.Semua berubah saat bersamamu tak mungkin ku dapat kalau tanpaumu,sangat ku nikmti mencitaimu bersamamu. Tapi ternyata kini aku sudah bersamamu…
Karena kesedihanku ini hanya sementara,karena aku percaya lelah ini hanya sebentar dan aku tak boleh menyerah walaupun ini tak mudah. Aku akan selalu ingat pesan dia untuk selalu tersenyum biar semakin mudah karena kesedihan ini hanya sementara.
Dan hari-hari sepiku akan terjadi. Semoga aku bisa jalani ini semua. Dan semoga 2 tahun lagi aka nada sebuah cerita manis yang berakhir dengan sebuah kebahagiaan.